9 Dosa Politik Setya Novanto

Monday 31 Jul 2017, 2 : 40 am
by
Koordinator TPDI, Petrus Salestinus

Oleh: Petrus Salestinus

Independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang diuji. Dan yang mengujinya adalah politikus Partai Golkar, Setya Novanto. Ujian terhadap lembaga antirasuah ini bukan main-main. Setnov dengan manuver ‘belut licinnya” menyerang KPK disaat penyidikan kasus dugaan korupsi dalam pengadaan dan penganggaran proyek nasional e-KTP, dengan perkiraan total kerugian negara sebesar Rp. 2,4 triliun, yang kemudian membawa Setya Novanto menjadi tersangka oleh KPK.

Ketepatan dan kecepatan KPK bertindak bukan saja karena angka kerugian yang tergolong fantastik, akan tetapi karena modus korupsinya terlalu nekad dengan melibatkan beberapa pimpinan Fraksi, Komisi II DPR RI, bekerja sama dengan pejabat Kementerian Dalam Negeri di Gedung DPR RI.

Semula publik memandang kerja KPK dalam kasus ini dengan perasaan skeptis, terlebih-lebih ketika mengetahui Setya Novanto berada dibalik peristiwa korupsi ini, alasannya tidak lain karena Setya Novanto selalu lolos sendirian ketika sebuah kasus korupsi yang dilakukan secara bersama-sama disidik aparat hukum. Salah satu contohnya adalah kasus Cessie Bank Bali.

Meskipun Setya Novanto sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka, namun sebagian besar publik masih skeptis dan meyakini bahwa Setya Novanto masih bisa lolos dari jerat hukum. Terlebih-lebih ketika nama Setya Novanto raib dalam Isi Putusan Majelis Hakim dalam perkara a/n. Terdakwa Irman dan Sugiharto (dua terdakwa dari unsur Kementerian Dalam Negeri) yang menurut JPU bersama-sama dengan Setya Novanto dkk. telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, secara melanggar hukum dan telah merugikan negara tidak kurang dari Rp. 2,4 triliun.

Rasa skeptis publik baru bisa bisa hilang, manakala Setya Novanto ditahan KPK dalam rutan dan itu berarti untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya Setya Novanto, masuk rutan dengan status sebagai tersangka.

Kasus ini harus menjadi pelajaran penting bagi Pemerintah dan DPR RI, untuk memikirkan bagaimana mencegah terjadinya korupsi di DPR RI, karena sesungghnya fungsi pengawasan DPR RI itu termasuk mengawasi pengelolaan keuangan negara oleh pemerintah dalam melaksanakan tugas pembangunan.

Namun lagi-lagi korupsi seringkali dilakukan oleh anggota DPR RI, sehingga oleh sejumlah lembaga survey berdasarkan hasil surveynya menempatkan DPR RI sebagai lembaga terkorup dan dampak langsungnya menjadi terendah tingkat kepercayaan publik terhadap DPR RI. Akibatnya maka saat ini muncul wacana/pemikiran untuk menyederhanakan atau memperkecil fungsi bugeting DPR, agar fungsi pengawasannya dapat benar-benar berjalan dengan baik dan efektif.

Sebuah Majalah Nasional, terbitan 24 – 30 Juli 2017, dalam Laporan Utamanya, membuat kartun bergambar seorang laki-laki berbaju kuning, celana panjang hitam dengan ekor melengkung jatuh terjerembab di tanah, bertuliskan “Sepandai-Pandai Tupai Melompat”, sesungguhnya  mengajak pembaca menganalisis kemana arah dan akhir dari nasib Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP ini.

Bahwa Setya Novanto lolos dalam banyak kasus iya, tetapi faktanya saat ini Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Sebelumnya di tahun 1999-2003 Setya Novanto juga berstatus tersangka korupsi Cessie Bank Bali dengan perkiraan kerugian negara sekitar Rp. 900 miliar.

Namun kasus itu di SP3-kan oleh Kejaksaan, meskipun Setya Novanto belum punya jabatan publik apapun, tapi ia berhasil mempermainkan hukum dan memenjarakan beberapa pejabat penting seperti Pande Nasorahona Lubis (Wakil Kepala BPPN), Syahril Sabirin (Gub Bank Indonesia) dan Djoko S. Tjandra, sementara Setya Novanto lolos sendiri.

Kini Setya Novanto mengalami kehilangan dukungan dari Istana, Partai Golkar dan Partai Koalisi Pemerintah, DPR RI, Masyarakat NTT dan bahkan kemesraannya dengan pemerintahpun di ambang kehancuran.

TPDI mencatat 9 (sembilan) dosa politik Setya Novanto yang menjadi puncak gunung es kehancuran karir politik bahkan usahanya, jika nanti KPK mulai menyasar kepada penyidikan kasus kejahatan pencucian uang.

 

Ke 9 (sembilan) dosa politik itu adalah :

 

  1. Selalu tampil sebagai orang kuat dan memberi kesan sebagai orang yang kebal hukum bahkan dengan julukan Oli Belut.
  2. Namanya sering disebut terlibat dalam sejumlah tindak pidana korupsi besar yang merugikan keuangan negra.
  3. Dua kali menjadi tersangka dalam perkara korupsi dengan angka kerugian negara ratusan miliar pada tahun 1999 dan angka trilunan rupiah pada tahun 2017.
  4. Pernah terlibat dalam perkara pencatutan nama Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla yang dikenal dengan kasus “Papa Minta Saham”.
  5. Pernah diproses oleh MKD dalam kasus Pelanggaran Etika, ketika dalam kasus Papa Minta Saham yang menyebabkannya mundur dari jabatan Ketua DPR.
  6. Selama 4 periode menjadi Anggota DPR RI dari dapil NTT II, tidak memberikan kontribusi positif apapun untuk masyarakat NTT,  bahkan dalam suatu forum terbuka di NTT pada tgl 26 Februari 2015, di Kupang, NTT, Setya Novanto menuduh Greja, LSM bahkan masyarakat NTT  sebagai penghambat investasi tambang di NTT.
  7. LHKPN  a/n. Setya Novanto, terdapat banyak kekayaannya yang tidak dilaporkan alias berbohong.
  8. Pernah dijatuhi sanksi teguran oleh MKD DPR RI, karena melanggar Etika DPR, ketika melakukan pertemuan dengan Donald Trump capres AS tanggal 3 September 2015, saat kampanye pilpres di AS .
  9. Terdapat 7 (tujuh) kasus besar yang pernah dihadapi (Cessie Bank Bali, Beras Vietnam, Limbah B3, Proyek Pon Riau, Papa Minta Saham, Trump dan terakhir E-KTP) 6 di antaranya lolos, kecuali kasus e-KTP  yang membawanya menjadi tersangka KPK.

 

Ke 9 (sembilan)  isu krusial di atas, mempertegas  bahwa ada yang salah dalam memilih Setya Novanto, karena sesungguhnya Setya Novanto  tidak memiliki karakter dan kompetensi sebagai negarawan untuk memimpin DPR RI. Bahkan tidak lama sesudah itu muncul kasus “Papa Minta Saham” yang mencatut nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla.

Seandainya Setya Novanto sejak awal sadar dan tahu diri sehingga tidak mencalonkan diri dan dipilih, maka Partai Golkar tidak akan digoyang perpecahan babak kedua, yang akan menghambat konsolidasi Golkar menghadapi Pilkada, Pileg dan Pilpres 2019.

Loyalis Setya Novanto harus iklas meninggalkan Setya Novanto dan mendorongnya untuk berjiwa besar menghadapi kasusnya, jangan coba-coba mempertahankan Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar atas alasan apapun, karena berpotensi Golkar akan menghadapi prahara dualisme kepengurusan babak kedua dan Golkar diprediksi tidak bisa ikut pemilu 2019.

 

Penulis adalah Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) & Advokat PERADI di Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Perkuat Keamanan IT KPU, ICT: Waspadai Sabotase Rekapitulasi Suara Pemilu

JAKARTA-Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute Heru Sutadi

Asuransi Jiwa Seumur Hidup “Q Life Legacy” Lindungi Masa Depan Nasabah J Trust Bank

JAKARTA-PT Asuransi Jiwa Sequis Financial (“Sequis Financial”) bekerja sama dengan PT