Capaian Swasembada Pangan Terkesan Semu

Monday 19 Mar 2018, 12 : 37 pm

JAKARTA-Program swasembada pangan yang dicanangkan pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian ternyata tidak tercapai, sebut saja swasembada beras terkesan masih semu. Bahkan swasembada pangan ini masih jauh dari harapan, intinya benar-benar semu. “Dalam rentang waktu 2000-2015 Indonesia selalu impor beras dengan total 15,4 juta ton atau rata-rata 1 Juta ton/tahun dengan nilai USD 5,83 Miliar atau Rp 78,7 Triliun (kurs Rp13.500),” kata anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan dalam siaran persnya di Jakarta, Senin (19/3/2018).

Menurut Heri, pemerintah mengaku tidak ada impor beras dalam 2016 dan 2017, tetapi kenyataan pada 2018 kembali impor beras sebanyak 500.000 ton.JAKARTA-Program swasembada pangan yang dicanangkan pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian ternyata tidak tercapai, sebut saja swasembada beras terkesan masih semu. Bahkan swasembada pangan ini masih jauh dari harapan, intinya benar-benar semu. “Dalam rentang waktu 2000-2015 Indonesia selalu impor beras dengan total 15,4 juta ton atau rata-rata 1 Juta ton/tahun dengan nilai USD 5,83 Miliar atau Rp 78,7 Triliun (kurs Rp13.500),” kata anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan dalam siaran persnya di Jakarta, Senin (19/3/2018).

Menurut Heri, pemerintah mengaku tidak ada impor beras dalam 2016 dan 2017, tetapi kenyataan pada 2018 kembali impor beras sebanyak 500.000 ton. Data tentang produksi dan stock beras serta konsumsi beras di Indonesia dari waktu ke waktu sering simpang siur antar instansi pemerintah,” ujarnya.

Lebih jauh kata anggota Fraksi Gerindra, Kementerian Pertanian cenderung melaporkan adanya surplus beras sementara Kementerian Perdagangan cenderung sebaliknya (defisit) sehingga mendorong adanya impor beras. “Dibalik impor beras yang relatif kecil tadi sebenarnya Indonesia semakin bergantung pada pangan impor yaitu biji gandum (wheat grain) yang sebagian besar dikonsumsi sebagai substitusi beras,” tambahnya.

Artinya bila tidak ada import wheat grain, lanjut Mantan Ketua Komisi VI DPR, Indonesia masih harus impor beras lebih besar lagi. Dalam 2015 dan 2016 Indonesia impor biji gandum masing-masing sebesar 7,4 Juta ton dan 10,5 Juta ton atau naik 42% sedangkan dalam 2017 impor biji gandum 11,5Juta ton (senilai USD 2,6 Miliar) atau kenaikan sebesar 9% dari 2016.
“Biji gandum ini diolah menjadi tepung terigu (wheat flour) di 25 pabrk pengolah (flour mills) yang 80% berlokasi di pulau Jawa, untuk berbagai produk seperti bakery, noodle, dan biscuit oleh small and medium enterprises (66%) dan oleh big and modern industri (34%),” terangnya lagi.

Dikatakan Heri, Pengertian atau slogan diversifikasi pangan juga sering ditafsirkan dan diarahkan kepada alternative lain dari beras, bahkan yang bersumber dari bahan pangan import. Pergeseran (shifting) ke pangan import khususnya gandum, dalam jangka panjang akan semakin melemahkan ketahanan pangan nasional sebab Indonesia belum siap untuk menanam gandum. “Berbeda dengan ketergantungan pada import beras yang masih berpeluang diatasi dengan produksi sendiri,” pungkasnya. ***
Data tentang produksi dan stock beras serta konsumsi beras di Indonesia dari waktu ke waktu sering simpang siur antar instansi pemerintah,” ujarnya.

Lebih jauh kata anggota Fraksi Gerindra, Kementerian Pertanian cenderung melaporkan adanya surplus beras sementara Kementerian Perdagangan cenderung sebaliknya (defisit) sehingga mendorong adanya impor beras. “Dibalik impor beras yang relatif kecil tadi sebenarnya Indonesia semakin bergantung pada pangan impor yaitu biji gandum (wheat grain) yang sebagian besar dikonsumsi sebagai substitusi beras,” tambahnya.

Artinya bila tidak ada import wheat grain, lanjut Mantan Ketua Komisi VI DPR, Indonesia masih harus impor beras lebih besar lagi. Dalam 2015 dan 2016 Indonesia impor biji gandum masing-masing sebesar 7,4 Juta ton dan 10,5 Juta ton atau naik 42% sedangkan dalam 2017 impor biji gandum 11,5Juta ton (senilai USD 2,6 Miliar) atau kenaikan sebesar 9% dari 2016.
“Biji gandum ini diolah menjadi tepung terigu (wheat flour) di 25 pabrik pengolah (flour mills) yang 80% berlokasi di pulau Jawa, untuk berbagai produk seperti bakery, noodle, dan biscuit oleh small and medium enterprises (66%) dan oleh big and modern industri (34%),” terangnya lagi.

Dikatakan Heri, Pengertian atau slogan diversifikasi pangan juga sering ditafsirkan dan diarahkan kepada alternative lain dari beras, bahkan yang bersumber dari bahan pangan import. Pergeseran (shifting) ke pangan import khususnya gandum, dalam jangka panjang akan semakin melemahkan ketahanan pangan nasional sebab Indonesia belum siap untuk menanam gandum. “Berbeda dengan ketergantungan pada import beras yang masih berpeluang diatasi dengan produksi sendiri,” pungkasnya. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Manfaatkan 10 Genset Tambahan, 125 Personil Gabungan PLN Sulawesi Tiba di Palu

PALU-Sebanyak 125 personil tim gabungan PLN Sulawesi telah tiba di

TPN Ganjar-Mahfud Kirim Surat Resmi ke Twitter, Ada Apa?

JAKARTA-Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud mempertanyakan kejanggalan di media sosial