JAKARTA-Kalangan DPR meminta agar harga jual listrik Power Purchase Agreement (PPA) untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang bisa diturunkan. Langkah ini semata-mata demi melindungi konsumen, alias masyarakat.
Menurut anggota Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih, mahalnya nilai PPA dan investasi ini bukan tanpa alasan. Karena itu, bukan tidak mungkin suatau saat akan berdampak kepada masyarakat, terutama dengan harga listrik nantinya. “Bagi saya, kalau itu untuk rakyat Indonesia, tidak ada sesuatu pun yang tidak bisa diubah karena ini untuk kepentingan rakyat,” katanya dalam siaran persnya di Jakarta, Kamis (15/3/2018)
Lebih jauh kata anggota Fraksi Partai Golkar, harga jual beli listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang masih terlalu mahal. Karena itu diduga ada ketidakefisienan yang menjadi faktor mahalnya angka tersebut. “Sebenarnya apa yang membuat harga itu menjadi US$ 5,7 sen. Karena tempatnya kurang tepat disana. Hal ini akan kita perdalam lagi di Jakarta,” ungkapnya.
Diketahui saat ini PPA berada di angka US$ 5,71 sen per kilowatt per hour (kwh). “Jadi ada pembangkit yang lebih kecil dari 2×1.000 MW dan harganya lebih murah sekitar US$ 5 sen. Jadi menurut saya, harganya itu bisa lebih murah, bisa jadi US$ 4 sen,” ujar legislator asal Jawa Timur.
Eni juga menyoroti mahalnya nilai investasi yang mencapai US$ 4,2 miliar. “Menurut saya untuk berbahan batu bara tidak semahal itu. Apa faktor tanahnya, teknologinya, tenaga kerjanya, atau komponen-komponen lainnya yang menyebabkan investasi sampai US$ 4,2 miliar,” kata Eni seolah bertanya.
Eni juga mempertanyakan mahalnya nilai investasi itu apakah juga karena nilai bunga bank yang tinggi. Kalau ternyata benar, berarti investor datang ke Indonesia datang tanpa modal dan hanya melakukan pinjaman di bank dan bunga banknya juga dimasukkan dalam perhitungan tersebut. “Kalau nilai bunga bank ini juga kita tidak tahu, tinggi atau tidak karena tadi tidak dirincikan. Tentu ini akan kita dalami dan bahas lagi di Komisi VII,” ucapnya.
Diketahui, proyek PLTU berkapasitas 2×1.000 MW ini digarap oleh PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) yang pada Juni 2016 lalu mencapai kesepakatan pembiayaan (financial close). BPI merupakan konsorsium dari Electric Power Development Co., Ltd (J-Power), PT Adaro Power (AP), Itochu Corporation (Itochu). Proyek PLTU dengan investasi proyek US$ 4,2 miliar dan memakan lahan 226 hektar ini ditargetkan selesai dan mampu beroperasi untuk komersial pada 2020 mendatang. ***