Fanatisme Pendukung Bisa Picu Konflik Pilkada

Thursday 27 Oct 2016, 5 : 10 pm

JAKARTA-Masyarakat berharap Pilkada serentak 2017 yang akan dimulai pada 28 Oktober 2016 berlangsung damai dan siap menang, siap kalah. Namun begitu Pilkada DKI Jakarta, Aceh, Papua, Gorontalo, dan Banten diprediksi tetap rawan konflik. “Faktor pemicu utama, fanatisme pendukung salah satu pasangan calon (Paslon),” kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI Lukman Edy dalam dialektika demokrasi ‘Pilkada Damai, siap menang siap kalah’ bersama komisoner KPU Feri Kurnia Rizkiyansyah, Komisioner Bawaslu Daniel Zuchron, dan Direktur PerluDem Titi Anggraini di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (27/10/2016).

Menurut Lukman, untuk menjaga kelangsungan pilkada damai, maka perlu sikap jujur, adil, bebas money politics, netralitas PNS, TNI, Polri, penyelenggara Pilkada dan masyarakat sendiri untuk mematuhi aturan.

Seperti di Aceh, 6 calonnya eks GAM, pecah kongsi, baik untuk calon gubernur, calon bupati, yang melibatkan 85 orang calon di 25 daerah. “Semua pendukungnya besar dan fanatik. Kalau tidak diantisipasi dengan baik oleh aparat, maka bisa menimbulkan konflik. Demikian juga Papua, dan DKI Jakarta, yang terlanjur membawa SARA sehingga perlu antisipasi dini,” ujar politisi FPKB itu.

Disamping itu kata Lukman, khusus DKI Jakarta, ada yang terpendam. Yaitu, posisi Presiden RI dan mantan Presiden RI. Dimana dalam Pilkada DKI ini baik langsung maupun tidak, ada tokoh nasional seperti Presiden Jokowi, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Prabowo Subianto. Untuk Presiden Jokowi harus menegaskan bahwa dirinya netral. “Presiden Jokowi harus klarifikasi bahwa dirinya netral. Memang tidak ada larangan, tapi dugaan itu bisa mendorong konflik,” tambahnya.

Menurut Lukman, siapapun yang terpilih di DKI Jakarta ini, apakah Ahok, Agus maupun Anies, mereka ini pasti akan menjadi tangan kanan Presiden Jokowi. Mengingat Jakarta sebagai ‘wajah’ Indonesia, maka Pilkada harus damai dan terhindar dari konflik. Karena itu dengan kewenangan yang sudah baik, Bawaslu diharapkan tegas dan berani menjatuhkan sanksi bagi calon yang melanggar. “Kalau tidak ada yang disanksi, maka aturan yang baik itu hambar dan tak ada efek jera,” pungkasnya.

Daniel menyatakan hal yang sama akan potensi konflik tersebut. Di Gorontalo misalnya kini sudah saling menggugat meski sudah ditetapkan KPUD, dan di Tolikara pelaksanaannya dipindah ke Wamena akibat terjadi sengketa pencalonan. Demikian pula di Singkawang, Kalimantan Barat, dan DKI Jakarta. “Masalah daftar pemilih tetap (DPT). Jadi, jangan sampai damai hanya di tingkat elit, tapi di bawah khususnya di daerah belum tentu,” katanya.

Karena itu Daniel menyarankan semua harus dipersiapkan dengan baik. Dari jadwal dan infrastruktur kampanye, iklan, debat, alat peraga KPU pasangan calon, dan blusukan semua harus clear. “Aturan money politics, transportasi harus jelas, karena tidak boleh uang melainkan bentuk lain, dan Bawaslu bisa menangkap setelah kerjasama dengan penyidik Polri, tanpa harus izin pengadilan,” jelasnya.

Feri Kurnia menegaskan jika tiga hal yang harus diperhatikan dalam Pilkada antara lain DPT, kampanye, dan pemungutan suara.

Misalnya banyak yang bilang tidak terdaftar sebagai pemilih, dan tidak lagi bisa menggunakan keterangan kelurahan, RW dan RT, kalau belum melakukan perekaman e-KTP. Tapi, hal itu sudah dijawab oleh Mendagri Tjahjo Kumolo jika masalah itu bisa diatasi dengan peraturan pemerintah.

Untuk itu KPU kata Feri, mengusulkan perlunya DPT berkelanjutan. Baik setengah tahunan, tahunan, dan seterusnya agar masyarakat mengetahui sebagai pemilih tetap. “Juga larangan kampanye di dunia maya menyangkut provokasi, ujaran kebencian, fitnah, SARA dan sebagainya, maka KPU mewajibkan agar pasangan calon melaporkan akun-nya ke KPU. Sebab, nantinya KPU akan koordinasi dengan Bareskrim, Kominfo RI, Bawaslu, yang berimplikasi pidana,” tambahnya.

Dia berharap 4 bulan ke depan selama proses kampanye Pilkada berlangsung lebih baik, menggembirakan, mencerdaskan, mencerahkan masyarakat dengan program-program pembangunan yang konkret. “Jadi, semua proses dan tahapan Pilkada ini harus kita kawal dengan baik. Terutama saat perhitungan pada 15 Februari 2016, harus transparan, berintegraitas, jaga NKRI dan siapapun yang melanggar harus didiskualifikasi,” jelas Feri lagi.

Titi Anggraini mengambil hikmah dari Pilkada serentak 2015 yang seharusnya lebih optimis di 2017 nanti akan lebih baik, dan damai. Dimana tahun 2015 itu yang memicu konflik hanya akibat partai pecah kongsi, tapi untuk saat ini tidak ada. “Kasus PPP, pecah setelah dilakukan pendaftaran di KPUD, sehingga tidak ada masalah. Namun waspada di beberapa provinsi. Seperti DKI Jakarta, Aceh, Papua, Gorontalo, dan Banten. Untuk itu, pengawasan keamanan harus ditingkatkan dan diikuti dengan penegakan hukum. Apalagi, revisi UU Pilkada No.10 tahun 2016 ini lebih baik dan bisa mendiskualifikasi calon kalau bukti-buktinya cukup,” tambahnya.

Dengan demikian beberapa hal yang harus diwaspadai dalam Pilkada, yaitu netralitas PNS, TNI, dan Polri, money politics, deteksi potensi konflik di daerah rawan konflik, pemutakhiran data pemilih (DPT), dan dana kampanye. ***

Don't Miss

Industri Makanan Jadi Andalan Ekspor

JAKARTA-Industri pengolahan (manufaktur) pada periode Januari-Februari 2020 menunjukkan kinerja ekspor
Aktivitas perekonomian khususnya industri sudah kembali pulih. Kondisi ini diharapkan terus membaik dan akan mencapai pertumbuhan ekonomi nasional yang positif

Banjir Mulai Surut, 576 Gardu Listrik di Jakarta dan Banten Kembali Normal

JAKARTA-Sebanyak 576 gardu distribusi yang semula dipadamkan imbas dari banjir