JAKARTA-Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Arief Poyuono meminta pemerintah bersikap jujur terkait kondisi krisis ekonomi yang sudah di depan mata. Tanda-tanda ambruknya ekonomi semakin jelas menyusul kemampuan sejumlah institusi yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam mengatasi persoalan ekonomi sangat diragukan.
Salah satu sinyal menuju krisis itu ditandai pernyataan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara yang menyebutkan Presiden Joko Widodo dapat terlibat di dalam menentukan keputusan kondisi krisis ekonomi tanpa menunggu rekomendasi KSSK. “Artinya, tidak hanya berpatokan pada empat otoritas di bawah KSSK ,Presiden Jokowi dapat menyatakan dan mengambil kebijakan bahwa ekonomi Indonesia sudah pada tahapan krisis ekonomi akibat miss government management dalam mengelola anggaran pendapatan dan pengeluaran negara,” ujarnya di Jakarta, Jumat (24/6).
Presiden bisa saja mengedepankan pertimbangan factor politik dalam menetapkan keputusan yang bisa saja berbeda dengan rekomendasi KSSK. “KSSK yang terdiri dari OJK, BI, Menkeu dan LPS, semestinya jujur bahwa ekonomi Indonesia masuk krisis,” tuturnya.
Indikator memburuknya ekonomi tercermin dari angka defisit APBN yang sangat besar. Dampaknya, pemerintah memotong jumlah anggaran di APBN -P tahun 2016. “Diantaranya menghilangkan subsidi tarif dasar listrik bagi pelanggan 900 Watt ,melakukan obral SUN dan obligasi dengan bunga yang tinggi , terjadinya deflasi yang disebabkan oleh daya beli masyarakat yang menurun dan bukan oleh kinerja Ekonomi makro yang efisien , serta tingginya NPL perbankan Indonesia yang sudah di atas 5 persen,” urainya
Meningkatnya kredit macet di perbankan Indonesia jelasnya merupakan konsekuensi dari keputusan Otoritas Jasa Keuangan (OJ) dengan melanggar aturan Peraturan Bank Indonesia (PBI). Semestinya, program restructuring kredit macet hanya boleh dilakukan satu kali, tapi kenyataannya diperbolehkan berkali-kali dengan cara melakukan apprasial ulang terhadap aset yang dianggunkan. Celakannya lagi, penilaian ulang ini termasuk dengan cara melakukan peningkatan nilai Aset berdasarkan nilai kurs rupiah pada US dollar tanpa mengindahkan adanya penyusutan
“Krisis ekonomi yang disebabkan juga oleh kinerja ekspor yang menurun dibandingkan impor serta jatuhnya harga -harga komoditas eskpor Indonesia seperti komoditas pertambangan dan pertanian dll serta tetap bertenggernya dolar AS selama setahun di kisaran angka Rp 13.000 rupiah juga jadi sinyal krisis ekonomi,” urainya.
Hal itu juga diperkuat oleh pernyataan Menteri Perdagangan Thomas lembong yang sedang menunggu kejujuran Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia menuju krisis ekonomi. “Karena itu sebaiknya Presiden Jokowi jujur saja dan segera membuat kebijakan ekonomi yang terarah maupun politik untuk bisa mengatasi ancaman krisis ekonomi Indonesia,” pungkasnya .