TANGERANG-Wacana pembatasan periode jabatan Ketua Umum partai politik (parpol) hingga kini menuai kontroversi. Banyak yang menolak tapi juga tak sedikit mendukung.
Ketua DPP Partai Hanura, Sarifuddin Sudding dengan tegas menolak aturan pembatasan masa waktu jabatan Ketua Umum Parpol. “Parpol inikan bukan birokrat. Jadi, tidak harus ada pembatasan yang disamakan dengan jabatan Kepala Daerah yang hanya dua periode,” bilang Sudding, di BSD, Tangerang Selatan, Banten Selasa (31/5).
Sebelumnya, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie mewacanakan adanya reformasi struktur kelembagaan partai, salah satunya menyangkut pembatasan periode jabatan pemimpin partai politik. “Kecenderungan pemimpin partai makin lama (menjabat) makin tidak demokratis ke dalam, perlu ada aturan yang membatasi kepengurusan partai politik. Partai nanti tidak sehat karena dipimpin oleh tokoh yang itu-itu saja, sehingga boleh jadi kreativitas internal tidak tumbuh,” kata Jimly ketika ditemui di Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Selasa (24/05).
Partai Politik lanjut Suding, merupakan lembaga instrumen sebagai pilar penguat Demokrasi. Karena itu, jabatan Ketum Parpol tidak perlu diatur ataupun dibatasi dengan periode waktu. “Ketua Umum parpol, ini menyangkut figur dalam mempin organisasi, dan ini sangat diperlukan ketokohannya dalam suatu organisasi,” kata Sudding.
Ditegaskan Sudding, Partai politik sebagai sebuah lembaga itu berbeda dengan lembaga resmi negara lainnya. “Beda halnya dia dipilih rakyat, itu ada batasan-batasan atau tenggang waktu tentang masa jabatan, beda antara parpol dengan pejabat-pejabat publik. Karena ketum itu bukanlah jabatan publik,” urainya.
Menurut Jimly, Jabatan pemimpin partai yang tidak dibatasi juga bisa menyebabkan demokratisasi internal tidak berkembang. Padahal, partai diharapkan sebagai instrumen demokrasi dalam membangun negara.
Oleh karena itu, Jimly mengusulkan agar masa jabatan pemimpin partai politik bisa dibatasi, misalnya untuk dua atau tiga periode kepengurusan.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut tidak memungkiri bahwa jabatan pemimpin partai diperebutkan karena menjadi batu loncatan untuk menjadi calon presiden. Namun, Jimly menyebut pemberlakuan pemilihan umum legislatif dan presiden serentak dapat meminimalkan hal itu.
“Calon presiden jangan ditentukan secara internal tertutup, sehingga akan dicari tokoh dengan elektabilitas tinggi. Sebaiknya mulai sekarang kader partai rajin bertemu dengan rakyat daripada rebutan jadi pemimpin parpol,” pungkasnya. (Raja Tama)