Independensi Hakim

Friday 7 Apr 2017, 1 : 14 am
by
Edi Danggur, SH, MH, MM

Oleh: Edi Danggur SH, MM, MH

Perkara-perkara beraroma politik selalu menjadi perhatian publik. Nalar publik biasanya mempersoalkan seberapa independennya hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara beraroma politik tersebut.

Terutama perkara Ahok yang saat ini sedang disidangkan di PN Jakarta Utara. Sangat kental aroma politik dan tekanan massa berlabel yang berjilid-jilid itu.

Ahok dan masyarakat pencari keadilan tentu berhak mempersoalkan seberapa independennya hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara tersebut.

Sangat beralasan jika publik mempersoalkan independensi hakim ini. Sebab peradilan yang independen merupakan hak konstitusional dan hak universal.

Apa yang dimaksudkan dengan peradilan yang independen? Mengapa peradilan yang independen itu merupakan hak konstitusional dan hak universal?

Peradilan Yang Independen

Konstitusi kita telah menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, bebas dan independen untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan [Vide Pasal 24  ayat (1) UUD 1945].

Kekuasaan kehakiman itu dilakukan oleh MA dan peradilan di bawahnya serta oleh MK [Vide Pasal 24 ayat (2) UUD 1945]. Itu artinya puncak kekuasaan kehakiman dan kedaulatan hukum ada pada MA dan MK.

Bebas atau independen dari siapa? Bebas dari kekuasaan intra maupun ekstra yudisial. Intra yudisial berarti hakim yang sedang memeriksa dan memutuskan suatu perkara tidak boleh dapat dipengaruhi oleh hakim-hakim lainnya maupun oleh hakim-hakim di atasnya.

Sedangkan ekstra yudisial berarti hakim harus bebas dari campur tangan kekuasaan eksekutif maupun legislatif.

Independensi hakim diatur lebih lanjut dalam Pasal 17 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menegaskan: setiap orang tanpa diskriminasi, berhak memperoleh keadilan, … serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.

Bahkan demi objektivitas peradilan, UU Kekuasaan Kehakiman mengatur mekanisme hak ingkar dan hak mengundurkan diri bagi seorang hakim atau pejabat pengadilan lainnya dari pemeriksaan atas suatu perkara, manakala hakim mempunyai konflik kepentingan dalam perkara tersebut.

Hak ingkar adalah hak pihak-pihak berperkara jika terbukti hakim mempunyai kepentingan dalam suatu perkara, baik langsung maupun tidak langsung.

Bisa juga karena istri hakim atau keluarganya yang sedarah atau keluarga semenda, dalam keturunan yang lurus tanpa pengecualian dan dalam keturunan ke samping sampai derajat ke empat.

Demikian pula, berdasarkan alasan-alasan yang sama, hakim yang sejak semula patut mengetahui adanya konflik kepentingan (conflict of interest), wajib mengudurkan diri dari pemeriksaan perkara tersebut.

Ada nalar universal: “nemo judex idoneus in propria causa”. Secara harafiah berarti tidaklah mungkin ada hakim yang baik, yang benar-benar objektif, dalam suatu perkara dimana hakim itu mempunyai kepentingan pribadi dalam perkara tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

HBA September 2021 Tembus USD150,03 per Ton

Pengembangan Gasifikasi Batubara Terus Digenjot

JAKARTA-Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong terealisasinya proyek-proyek gasifikasi batubara di

OCBC NISP Kucurkan Beasiswa Pendidikan Rp 1,5 Miliar

JAKARTA-Kepedulian terhadap kemajuan dunia pendidikan Indonesia telah menjadi perhatian Bank