Industri Butuh Bunga Bank Kompetitif

Friday 13 Nov 2015, 4 : 27 pm
by
Menperin Saleh Husin saat rapat koordinasi di Yogyakarta

YOGYAKARTA-Pelaku industri di Indonesia membutuhkan dukungan permodalan untuk mengembangkan usaha dan meningkatkan produksi serta memperkuat daya saing. Untuk itu, bunga pinjaman perbankan seharusnya lebih kompetitif.

Demikian disampaikan Menteri Perindustrian Saleh Husin saat rapat koordinasi pemerintah pusat, pemda dan Bank Indonesia (BI) di Yogyakarta, Jumat (13/11).

Saat ini, imbuhnya, besaran bunga dari bank di Indonesia masih lebih tinggi dibanding negara lain, termasuk di kawasan Asean. Padahal dukungan modal sangat dibutuhkan untuk mendongkrak kinerja dan produksi. “Di saat kita harus bersaing secara terbuka dan prospek industri serta investasi berhasil dijaga, bunga bank belum mendukung pengembangan industri. Bank-bank kita masih belum ramah dengan rekan-rekan industri,” ujarnya.

Bunga bank yang tinggi juga juga merupakan beban keuangan tersendiri. Hal ini tentu turut menggerus daya saing dan mempengaruhi harga jual. “Jika bunga diturunkan, cost-nya akan turun. Ini bukan hanya untuk industri besar tapi juga berpengaruh bagi industri kecil dan menengah,” kata Saleh.

Khusus untuk IKM, Pemerintah melalui Paket Kebijakan Ekonomi III yang memperluas pemberian kredit modal kerja. Bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) diturunkan dari 22 persen pertahun menjadi 12 persen pertahun dan pada tahun depan menyusut menjadi 9 persen.

Selain menyoal pinjaman lembanga keuangan, Menperin juga menyebutkan faktor pemacu pertumbuhan industri. Yaitu ketersediaan energi dengan harga yang kompetitif, ketersediaan infrastruktur baik jalan, pelabuhan, dan listrik serta biaya logistik yang juga bersaing.

Sementara itu. Kementerian Perindustrian mencatat, pertumbuhan Industri pengolahan non-migas pada triwulan III Tahun 2015 sebesar 5,21 persen. Angka ini lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi triwulan III Tahun 2015 sebesar 4,73 persen.

Sementara itu, ekspor produk hasil industri (industri pengolahan non migas) sampai dengan Agustus 2015 sebesar USD 72,21 miliar yang memberi kontribusi 70,44 persen terhadap total ekspor nasional.

Pada periode yang sama, impor produk komoditi industri sebesar USD 72,49 miliar dan tercatat turun sebesar 11,75 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya.  “Turunnya impor ditengarai karena adanya transformasi bahan baku yang tidak lagi banyak berasal dari impor melainkan menggunakan produk dalam negeri. Artinya agenda membangun industri substitusi impor mulai membuahkan hasil,” ulas Menperin.

Merujuk data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), terjadi peningkatan investasi industri substitusi impor dan industri berorientasi ekspor. Sepanjang Januari-September 2015, penanaman modal industri substitusi impor mencapai Rp 34,5 triliun atau naik 15,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan investasi industri berorientasi ekspor sebesar Rp 25,7 triliun atau naik 10,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Kenaikan nilai investasi juga dialami investasi di sektor industri hilir sumber daya mineral hingga triwulan III sebesar Rp 33,2 triliun. Nilai tersebut mengalami kenaikan 66,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Total nilai investasi industri baik PMA dan PMDN pada triwulan III tahun 2015 sebesar USD 4,75 miliar, di mana PMDN tumbuh sebesar 7,45 persen dibanding triwulan III tahun 2014.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

MPR-BPIP Akui Butuh Haluan Negara

JAKARTA – Pertemuan antara Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI dengan Badan
Jasmerah merupakan pesan yang masih sangat relevan sampai saat ini. Karena para elit bangsa Indonesia cenderung meninggalkan sejarah. Melupakan sejarah.

Ekonomi Politik Perberasan “Mematikan” Petani dan Bulog

Oleh: Anthony Budiawan Tahun ini Indonesia akan impor beras lagi.