Jenewa Gagal, Bali ‘Dipaksa’ Menghasilkan Konsensus WTO

Wednesday 27 Nov 2013, 2 : 44 pm
by

JAKARTA-Indonesia for Global Justice (IGJ) memastikan bahwa Konferensi Tingkat Menteri IX WTO, di Bali, tidak akan memberikan manfaat untuk Indonesia. Hal ini karena perundingan WTO di Jenewa telah gagal membawa kepentingan Negara berkembang, khususnya Indonesia di sektor pertaniannya.

Seperti diberitakan, WTO mengumumkan perundingan Paket Bali di Jenewa (26/11) tidak dapat menghasilkan kesepakatan menjelang pertemuan di Bali. Kegagalan perundingan Paket Bali di Jenewa disebabkan oleh tidak adanya kesepakatan terhadap draft teks dalam Perjanjian Trade Facilitation dan Perjanjian Pertanian, khususnya Proposal G33.  Untuk itu, perundingan lanjutan akan digelar di Bali  pada 3 – 6 Desember 2013.

Direktur Eksekutif IGJ Riza Damanik mengatakan, dengan gagalnya perundingan di Jenewa, Organisasi WTO semakin kehilangan kredibilitasnya. Namun tidak mustahil, KTM IX WTO di Bali nanti menggunakan strategi politik “tukar-guling”. Yakni, menukar Proposal Pertanian G33 dengan Trade Facilitation, untuk mencapai konsensus Paket Bali. “Olehnya, kita terus perlu memastikan hal tersebut tidak terjadi,” kata dia.

Kebuntuan Perjanjian Trade Facilitation disebabkan oleh penerapan prosedur kepabeanan dalam Section 1 Perjanjian Trade Facilitation yang akan sangat membebankan Negara berkembang sehingga masih banyak draft teks yang ditolak akibat perbedaan kepentingan antara Negara berkembang dan Negara maju. Selain itu, keenganan Negara maju untuk mengikatkan komitmen dalam section II Trade Facilitation tentang pendanaan untuk capacity building bagi Negara berkembang dan terbelakang semakin membuat perundigan Trade Facilitation menjadi terhambat.

Dalam Perjanjian Pertanian, khususnya Proposal G33 tentang Public Stockholding and food security masih terhambat karena sulit dicapainya kesepakatan mengenai ‘peace clause’ (pengecualian yang bersifat sementara) yang hanya berlaku 4 tahun dan sangat bertolak belakang dengan kepentingan Negara berkembang yang lebih menginginkan perubahan aturan perjanjian pertanian tentang batas maksimal pemberian subsidi untuk negara berkembang. Selama ini Negara berkembang hanya bisa memberikan subsidi minimal 10% dari total nilai produksi pertanian.

“Olehnya, Pemerintah Indonesia tidak boleh sekedar menjadi fasilitator dan organizer yang baik di Bali nanti. Tapi harus proaktif menghadang upaya ekspansif WTO, serta mulai mengajak rakyat dunia memikirkan satu sistem kerjasama multilateral baru menggantikan sistem yang sudah terbukti gagal,” tutup Riza.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Hasto Terharu, Dukungan Yenny Wahid Beri Energi Luar Biasa Bagi Ganjar-Mahfud

JAKARTA-Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, Yenny Wahid memberikan energi yang

Akhir Agustus, Tower Bersama Infrastructure Jual 102,046 Juta Saham Treasuri

JAKARTA-Manajemen PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) berencana menjual kembali 102,046