Jokowi: Tax Amnesty Bukan Upaya Pengampunan Koruptor

Friday 1 Jul 2016, 5 : 53 pm
by
Presiden Jokowi menyampaikan sambutan pada peluncuran Program Pengampunan Pajak, di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat (1/7) .

JAKARTA-Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa tax amnesty bukanlah upaya pengampunan bagi koruptor atau pemutihan atas aksi pencucian uang. Tetapi pengampunan pajak ini memiliki makna yang lebih luas yang bermanfaat nyata bagi kepentingan bersama, bangsa dan seluruh rakyat Indonesia. “Jadi ini, bukan untuk kepentingan perusahaan atau kepentingan orang per orang atau untuk kepentingan kelompok, tetapi untuk kepentingan kita bersama,” ujar Presiden Jokowi saat me-launching Program Pengampunan Pajak, di Aula Chakti Buddhi Bhakti, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, di Jakarta, Jumat (1/7).

Dalam sambutannya Presiden Jokowi menegaskan bahwa tax amnesty ini bukan upaya pengampunan bagi koruptor atau pemutihan atas aksi pencucian uang. “Ini perlu saya tegaskan. Tapi yang kita sasar adalah  para pengusaha yang menempatkan hartanya di luar negeri, khususnya di negara-negara tax heaven (surga pajak),” tegasnya.

Khusus kepada dunia usaha, Presiden mengingatkan, semuanya tahu ada ribuan triliun dana yang diparkir di luar negeri.
Untuk itu, Presiden meminta agar dana-dana yang disimpan di luar dibawa pulang ke Indonesia. “Dengan adanya payung hukum Undang UU Tax Amnesty ini bisa berbondong-bondong dibawa kembali untuk pembangunan negara kita,” harap Presiden.

Kepala Negara menegaskan, tax amnesty bukan semata-mata memberikan pengampunan pajak tapi repatriasi aset. Ini artinya, pengembalian modal yang tersimpan di bank luar negeri atau di cabang bank luar negeri ke Indonesia. “Diharapkan mereka nantinya bisa menaruh kembali asetnya di Indonesia seiring dengan perkembangan kerja sama perpajakan internasional di level G20, OECD, dan non OECD,” tuturnya.

Presiden Jokowi juga menyampaikan, bahwa nantinya tahun 2018 ada keterbukaan total informasi. Karena itu, semuanya yang menyimpan uangnya di luar semuanya akan diketahui, berapa, dimana.

Sebenarnya kata Presiden, pemerintah sudah tahu bahkan mengantongi nama pemilik dana yang disimpan di luar negeri. Data tentang nama-nama pemilik dana triliunan di luar negeri sudah ada dikantonghanya tiga orang, yaitu dirinya, Menteri Keuangan, dan Dirjen Pajak. “Saya sudah wanti-wanti betul. Yang pegang data nama-mana pemilik dana triliunan rupiah di luar negeri ini ada tiga orang yaitu saya Menteri Keuangan, dan Dirjen Pajak. Nanti tinggal saya undang satu per satu, namanya jelas, simpannya dimana juga jelas, by name, by address, passport-nya ada semuanya. Jadi tidak usah nunggu 2018,” ungkap Presiden.

Untuk itu, Presiden berharap agar pemilik dana ini harus menangkap peluang pengampunan pajak ini.  Apalagi, UU Pengampunan Pajak ini memberikan payung hukum yang jelas, sehingga semuanya tidak usah ragu-ragu. “Tidak usah takut dan diharapkan potensi yang besar sekali itu betul-betul bisa kembali semuanya,” terangnya.

Lebih lanjut, Presiden Jokowi meminta Direktorat Jenderal Pajak untuk mereformasi diri agar lebih profesional. “Tunjukkan integritas, tunjukkan tanggung jawab besar kita, bahwa penerimaan negara itu sangat penting untuk pembangunan negara dan bangsa. Jangan ada yang coba main-main dengan urusan tax amnesty dan perpajakan, akan saya kawal sendiri, akan saya awasi sendiri dengan cara saya,“ tuturnya.

Presiden juga menegaskan, bahwa kesempatan yang baik ini merupakan yang  terakhir. “Saya sampaikan bahwa kesempatan ini tidak akan terulang lagi. Jadi tax amnesty ini adalah kesempatan yang tidak akan terulang lagi, ini yang terakhir, yang mau menggunakan silakan, yang tidak hati-hati,”pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Kritisi Program EBT, Legislator Nasdem: Banyak Masalah Baru Mucul, Jadi Beban Negara

JAKARTA-Anggota Komisi VI DPR, Rudi Hartono Bangun mengkritisi program pengembangan

Reformasi Gagal, Sasmito: Oligarki Berkolaborasi Dengan Pengemplang BLBI

JAKARTA-Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), Sasmito Hadinegoro menilai sejumlah