JAKARTA-Dewan Pimpinan Pusat Solidaritas Indonesia (DPP PSI) menyatakan keprihatinan mendalam atas keputusan Pengadilan Negeri Sumatra Utara yang memvonis terdakwa Ibu Meiliana dengan penjara 18 bulan atas dasar tuduhan penodaan agama pada 21 Agustus 2018.
PSI berharap pengajuan banding yang dilakukan Tim Penasehat Hukum Bu Meiliana dapat dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi dan Bu Meiliana dapat dilepaskan dari tahanan sampai turun keputusan hukum yang bersifat tetap dan mengikat.
“PSI setuju bahwa di Indonesia, penghinaan dengan sengaja terhadap agama, apalagi yang dengan sengaja dilakukan untuk menimbulkan kebencian dan permusuhan antar umat beragama, harus dilarang,” ujar Juru Bicara PSI, HM Guntur Romli di Jakarta, Kamis (23/8).
Namun dalam kasus Bu Meiliana, sulit sekali menerima argumentasi bahwa apa yang dilakukan Bu Meiliana adalah sesuatu yang menghina atau menodai agama. Apalagi, Ibu Meiliana hanya membandingkan suara pengeras suara dari masjid yang menurutnya lebih keras dari sebelumnya.
“Itu tentu saja bukan penghinaan atau penodaan. Mengeluhkan suara pengeras suara tidak berarti mengeluhkan suara azan,” tegasnya.
Menurutnya, Kementerian Agama pada 1978 pernah mengeluarkan peraturan tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla, yang tidak pernah dicabut sampai sekarang. Dinyatakan dalam peraturan tersebut, penggunaan pengeras suara tersebut harus ditata agar jangan sampai suara dari masjid justru menimbulkan antipati dan kejengkelan.
Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) juga pernah mengeluhkan hal yang sama agar pengeras suara diatur sebaik-baiknya.
“Vonis 18 bulan terhadap BU Meiliana adalah sebuah keputusan yang mencederai rasa keadilan dan hati nurani. Ironisnya sejumlah pelaku kerusuhan yang menghancurkan rumah ibadah hanya divonis 1,5 bulan sampai 2 bulan,” tegasnya.