Junita Ginting: Dibutuhkan Tiga Karakter Untuk Jadi Pahlawan Saat Ini

Sunday 4 Oct 2015, 9 : 52 pm
by

MEDAN-Pahlawan tidak selalu identik dengan orang yang terbunuh di medan perang, ataupun seseorang yang mengerjakan karya yang besar. Dalam konteks kekinian, pahlawan itu bisa disematkan kepada mereka yang berkarya dalam pekerjaan sederhana dan tidak berarti, namun memberikan nilai-nilai positif bagi anak bangsa.

Menurut Direktur Bank Sumut, Esther Junita Ginting, tiga dasar utama, yang dapat disebut sebagai pahlawan adalah seseorang yang mengerjakan karya sederhana dengan cara luar biasa serta tanpa kenal lelah, demi kemajuan peradaban manusia dan memanusiakan manusia lain.  “Tanpa ketiga dasar tersebut, makna kepahlawanan yang selama ini dikenal menjadi tiada arti,” tegas  Esther Junita Ginting di hadapan ratusan mahasiwa yang tergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Medan, yang menghadiri forum bulan apresiasi film nasional yang secara khusus mendiskusikan film “3 Nafas Likas”, di Auditorium Utama Catholic Center, Medan, Minggu (4/10).

Likas adalah tokoh perempuan asal Tanah Karo yang merupakan isteri pahlawan nasional Letjend Jamin Ginting. Likas adalah juga Pahlawan Nasional yang mengabdikan dirinya sebagai pejuang emansipasi perempuan di Sumatera Utara. “Beliau pantas disejajarkan dengan ibu RA Kartini. Jika di Jawa Tengah ada Ibu RA Kartini, di Sumut kita mengenal Ibu Likas, yang merupakan sumber perjuangan emansipasi bagi perempuan di sini.  Dan saya sangat yakin, bahwa perjuangan di dunia emansipasi pada waktu itu dibutuhkan komitmen tanpa kenal lelah, dan berhadapan dengan nilai budaya tradisional yang eksis pada waktu itu. Jika perempuan Sumut sekarang merasakan adanya nafas kebebasan dalam berkarya, itu merupakan hasil dari perjuangan Ibu Likas,” tegas Ginting.

Ditegaskan juga, komitmen pada pekerjaan sederhana yang dilakukan dengan cara luar biasa bisa juga diambil contoh Bunda Teresa di Kalkuta yang memerangi kemiskinan dengan cara memanusiakan manusia terlantar serta tersia-siakan masyarakat.  “Pekerjaan Bunda Teresa bukanlah bertempur di medan perang atau yang dilakukan merupakan pekerjaan besar. Setiap orang bisa koq, kalau mau, memberi perhatian kepada orang miskin,” terangnya.

Tetapi nyatanya, tidak semua orang mampu melakukan dengan cara seperti yang dilakukan Bunda Teresa. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ibu Likas. “Memanusiakan perempuan Sumatera Utara di tengah aturan adat yang ketat bukanlah pekerjaan mudah.  Mungkin banyak orang yang mampu melakukan itu, tetapi yang setia dan berkomitmen, mungkin sedikit sekali. Dan yang terpenting adalah, apa yang dilakukan Ibu Likas bukanlan pencitraan,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua PMKRI Medan Rikson Sihotang menjelaskan bahwa serial apresiasi diskusi film nasional yang digagas oleh PMKRI Medan ini merupakan  salah satu bentuk kegiatan yang bertujuan membangkitkan nasionalisme dalam diri mahasiswa. Selain, “3 Nafas Likas” , ada 6 (enam) film  lain yang didiskusikan termasuk “Soekarno” dan “Soegija”.

Pendekatan pembangunan nasionalisme melalui film seperti yang digagas PMKRI Medan mendapat dukungan penuh dari Ketua FORKOMA (Forum Komunikasi Alumni PMKRI) Medan, Delphius Ginting dan Ketua Nasional FORKOMA, Hermawi Taslim.

Oleh Hermawi Taslim dikatakan, pendidikan nasionalisme harus menggunakan pendekatan visual mengingat generasi muda saat ini lebih tertarik pada visualisasi daripada membaca. “Saya berharap, pendidikan nasionalisme yang berujung pada pembangunan karakter bangsa dalam diri anak muda harus bermuara pada pembangunan Indonesia tanpa harus membeda-bedakan suku, agama ataupun ras,” pungkasnya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Forhati Gandeng Hipmi Bantu Kaum Dhuafa

JAKARTA-Presidium Nasional Forum Alumni HMI-Wati (FORHATI) bekerja sama dengan Lembaga

Pembatasan Jumlah ‘Forward’ Pesan WhastApp Berlaku Mulai Selasa

JAKARTA-Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara bertemu dengan Vice President