Kelas Menengah Nikmati Kebijakan Subsidi

Wednesday 10 Apr 2013, 5 : 43 pm
kompasiana.com

 JAKARTA—Kebijakan pemerintah soal subsidi BBM dirasakan sudah tidak relevan lagi saat ini. Alasannya, subsidi BBM justru dinikmati oleh kelas menengah ke atas yang tergolong mampu. “Subsidi seharusnya diberikan kepada orang bukan barang, namun sebelum kebijakan mencabut subsidi BBM juga harus diperhatikan faktor inflasi dan implikasinya kepada rakyat miskin,” kata pengamat ekonomi, Aviliani dalam diskusi “Wacana Kenaikan Harga BBM”, bersama anggota Komisi VII DPR Satya W Yudha dan anggota DPD RI, Poppi Dharsono di Jakarta,Rabu,(10/4)

Anggota KEN, Avilias mengaku sudah memberikan masukan soal dampak negatif dan positif soal kebijakan kenaikan BBM bersubsidi. Masalahnya tinggal mau dijalankan atau tidak masukan tersebut. “Saat ini sudah tidak ada lagi waktu untuk melakukan perdebatan panjang. Karena memang sekitar 50% orang mampulah yang menikmati subsidi BBM,” ujarnya.

Menurut pengamat ekonom ini, bila harga BBM bersubsidi dinaikkan Rp500/liter, maka penghematan yang didapat sekita Rp60 triliun. Namun kalau naik Rp1000/liter, hanya sekitar Rp63 triliun. “Jadi tidak significant mengerek inflasi,” tegasnya

Lebih jauh kata Komisaris BRI ini, pemberian kompensasi kepada rakyat miskin tidak perlu dicurigai. Karena saat ini semuanya berlangsung transparan dan bisa diawasi.  “Entah itu bantuan kepada rakyat beruap BLT (bantuan langsung tunai), PNPM dan lainnya. Toh  bisa dilakukan kontrol, tinggal caranya saja bisa lewat bank. Sehingga penerima subsidi tepat sasaran,” ujarnya.

Sementara itu, Satya Widya Yudha menilai publik harus diberikan rasionalitas yang jelas tentang kebijakan kenaikan harga BBM. Karena selama ini terjadi pertarungan dalam kebijakan tentang BBM. “Seharusnya rasionalitas ekonomi juga dijelaskan kepada publik sehingga masyarakat paham mengapa ada kenaikan harga. Anggaran yang cukup besar untuk subsidi mestinya bisa dialihkan untuk program yang lebih bermanfaat,” tuturnya

Menurut Satya, saat ini beban APBN untuk menanggung subsidi sudah sangat berat sekitar Rp300 Triliun. Bayangkan saja, subsidi untuk energy saja sampai Rp193,8 triliun dan subsidi untuk listri mencapai Rp80,94 triliun. “Setiap kenaikkan ICP satu dolar maka deficit yang ditanggung APBN sekitar Rp3,8 triliun. Nah, kalau sampai 11 dolar, defisiit bisa sekitar Rp40 triliun,” ungkapnya.

Untuk jangka panjang, master plan kebijkan energy perlu difokuskan pada energy terbarukan. Menurut Poppy Dharsono (Senator dari Provinsi Jawa Tengah), Indonesia memiliki banyak potensi energy terbarukan yang belum dimanfaatkan, seperti tenaga surya, angin, panas bumi, mikro hidro dan lain sebagainya. “Perlu ada insentif untuk pengembangan green energy. Sehingga tidak mendorong masyarakat tergantung pada bahan bakar fosil,” kata Poppy. **can

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Said PDIP: Kita Jangan Melupakan Jati Diri Sebagai Partai ‘Sandal Jepit’

JAKARTA-Ketua DPP PDI Perjuangan, Said Abdullah menegaskan PDI Perjuangan memiliki

KEIN: Industri Padat Karya Berpeluang Unggul di Asia Tenggara

JAKARTA-Meski pengembangan industri padat karya masih mengalami hambatan dalam hingga