Kembalilah ke Demokrasi Keindonesiaan Sebelum Terlambat

Wednesday 20 Nov 2019, 3 : 21 pm
by
Emrus Sihombing, Komunikolog Indonesia

Oleh: Emrus Sihombing

Ketika kita meninggalkan era otoriter masa Orba, masuk ke era reformasi hingga saat ini, demokrasi kita acapkali diwarnai voting. Pilpres, Pileg dan Pilkada semuanya kita lakukan dengan pemilihan langsung. Seluruh pemilik hak suara menentukan pilihan terhadap sejumlah calon yang tersedia. Pilpres dan Pileg memilih calon yang ditawarkan oleh partai. Sementara Pilkada, diberi ruang dari jalur independen.

Sistem pemilu tersebut, menunjukkan nilai suara dari setiap WNI yang memiliki hak suara sama, apapun status sosialnya. Berbeda dengan Pilpres di negeri Uncle Sam (Paman Sam). Praktek ini setidaknya sudah berlangsung 15 tahun. Lalu kemudian, apa yang terjadi di negeri ini dengan demokrasi voting pemilihan langsung tersebut?

Pemilihan langsung yang kita lakukan 15 tahun belakangan ini muncul gejala baru yaitu fenomena relawan. Peran relawan menjadi sangat strategis karena menjadi salah satu faktor utama memenangkan kandidat dalam suatu kontestasi pemilu, baik legislatif maupun eksekutif. Melalui relawan, bisa menembus skat-skat politik yang ada di tengah masyarakat. Karena itu para calon, langsung atau tidak langsung, berusaha mendekati, didekati dan atau membentuk komunitas-komunitas relawan.

Sebagai tindakan politik, relasi dengan relawan tetap tidak lepas dari konsep politik yang sudah tak terbantahkan, yaitu “tidak ada makan siang gratis”. Akibatnya, biaya politik pun bisa membengkak fantastis.

Para relawan pun acapkali lebih aktif dan lebih berani melontarkan pesan-pesan komunikasi politik dibanding dari kader partai pengusung atau pendukung. Apa yang dilakukan relawan ini, langsung atau tidak langsung berpotensi bahkan pada aspek tertentu mampu menggeser peran kader dan simpatisan partai. Padahal, relawan belum terinstitusionalisasi dalam pilar demokrasi. Sedangkan kader partai sudah berada pada institusi formal demokrasi.  Inilah asalah satu yang harus kita diskusikan secara serius dalam membangun proses politik ke-Indonesia-an di negeri kita ini.

Lihat saja setelah selesai pemilu, apa yang terjadi? Sebagian relawan menempati posisi di dalam “bangunan” kekuasaan pemerintahan atau legislatif yang tersedia atau menciptakan unit baru dalam struktur kekuasaan untuk “menampung” mereka. Ini bisa dimaknai sebagai politik “balas jasa” dan sekaligus sebagai “sinergisitas” kekuasaan di antara mereka. Praktek yang sering terjadi, mereka saling mengawal dengan kolaborasi kekuasaan. Di satu sisi pola semacam ini bisa mengganggu demokrasi substansial, di sisi lain mampu menguatkan demokrasi prosedural yang penuh kepalsuan. Karena itu, dipastikan mengancam hakekat demokrasi itu sendiri.

Biaya Tinggi

Fakta juga menunjukkan bahwa pemilihan langsung yang sedang terjadi di Indonesia saat ini membutuhkan biaya yang sangat-sangat tinggi, bahkan seringkali diwarnai dengan politik uang. Ungkapan “wani piro” di Jawa dan “togu-togu ro” di suatu daerah Sumatera, atau sebutan berbeda di daerah lain, sudah tidak asing terdengar sebagai simbol dari politik uang. Ini sangat menyedihkan. Sejatinya demokrasi untuk mewujudkan kehendak rakyat berpotensi bergeser menjadi demokrasi untuk kepentingan bisnis pemilik modal (kapital). Akhirnya, ssiapa yang memengang kekuasaan publik, tidak lain yaitu mereka pemilik uang. Demokrasi bergeser menjadi komunitas bisnis.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Catatan HUT RI ke 78 dan HUT PPAD ke 20, Heroik Kodir dari Tanah Blitar

BLITAR-Aneka kisah muncul dari kota Blitar. Pernah ada tokoh Supriyadi

Poster Ganjar Dicopot-copotin, Jokowi Makin Otoriter

JAKARTA – Penyelenggaraan kekuasaan Presiden Jokowi semakin otoriter mirip dengan