Keterangan Ahli Linguistik UI Soal Al Maidah 51 Mempertegas Hukum Positif Negara

Friday 24 Mar 2017, 8 : 05 am
by
Koordinator TPDI Petrus Salestinus

Oleh: Petrus Salestinus

Ahli linguistik Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Rahayu Surtiati Hidayat telah menyampaikan pendapat ahlinya di bawah sumpah di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam perkara Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait Surat Al Maidah 51. Dalam keterangannya, Prof Rahayu menegaskan pernyataan Ahok tidak termasuk kategori penistaan terhadap agama, karena Al Maidah 51 tidak berbohong tetapi hanya dijadikan alat untuk membohongi. Pendapat Ahli Rahayu Surtiati ini sangat tepat dan koheren dengan pernyataan Ahok bahwa tidak ada niat sedikitpun untuk menista Al Maidah 51, apalagi Al Maidah 51 itu adalah ayat suci Alqur’an yang harus dihormati oleh siapapun juga sebagai orang beragama.

Dalam konteks ini, maka pernyataan Ahok bahwa Al Maidah 51 dipakai orang untuk membohongi sangat kontekstual, bahkan terdapat relasi yang sangat kuat atau koheren telah mempertegas posisi hukum postif negara. Dalam konteks Ahok sebagai warga negara Indonesia dan beberapa kali menjadi Penyelenggara Negara, di bidang Eksekutif maupun Legislatif, maka Ahok tahu betul atauran-aturan hukum positif yang mengatur tentang sayarat untuk menjadi seorang calon dan syarat pencalonan seorang Gubernur/Bupati/Walikota.

Ahok bahkan sudah mengalami sendiri dan pengalamannya itu menjadi Fakta-Fakta Empiris yang didukung dengan Fakta-Fakta Yuridis bahwa perundang-undangan nasional Indonesia sebagai hukum positif, sama sekali tidak melarang seorang warga negara Indonesia non muslim untuk menjadi Gubernur, Bupati, Walikota di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini.

Beberapa Fakta Empiris dan Yuridis sebgai alasan untuk membuktikan bahwa pernyataan Ahok : “Jangan mau dibohongi dan dibodohin pake Surat Al Maidah ayat 51” sebagai tidak memenuhi unsur pidana sebagaimana dimaksud pasal 156 dan 156a KUHP, karena hukum positif kita tidak memberikan ruang untuk berlakunya kaidah atau norma yang dimaksud dalam Surat Al Maidah ayat 51dalam UU Pilkada, Pileg maupun Pilpres kita.

 

Berdasarkan Fakta-Fakta Empiris

Negara dan Rakyat (Masyarakat Warga Belitung) menerima dan memilih Ahok mengikuti pilkada di Belitung, kemudian terpilih dan dilantik sebagai Bupati BelitungTimur 2005-2010 oleh Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri tanpa ada yang membatalkan atau syarat batal dengan alasan Surat Al Maidah ayat 51. Begitu pula Negara telah menerima dan mendaftarkan Ahok sebagai calon Gubernur Bangka Belitung  dan ikut di dalam pilgub di Provinsi Bangka Belitung tahun 2007,  namun kalah dalam pilkada karena dukungan suara tidak mencukupi, bukan karena alasan Surat Al Maidah 51.

Hal serupa terjadi dalam Pilgub DKI Jakarta 2012, dimana Negara dan Warga Masyarakat Jakarta, menerima dan mencalonkan Ahok untuk menjadi cawagub DKI Jakarta pada pilgub DKI Jakarta 2012 mendampingi Jokowi sebagai cagub, tanpa ada syarat batal apapun, hingga memenangkan pilgub DKI Jakarta, diterima dan dklantik sebagai Wakil Gubernur mendampingi Jokowi sebagai Gubernur oleh Presiden SBY, termasuk diterima oleh seluruh warga DKI Jakarta menjadi Gubernur DKI Jakarta, menggantikan Jokowi karena terpilih menjadi Presiden pada tahun 2014 dan selanjutnya pada pilgub DKI Jakarta 2017, Ahok dicalonkan dan didaftarkan sebagai calon Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Djarot dan oleh KPU DKI Jakarta dinyatakan memenuhi syarat sebagai calon dan pencalonan.

Fakta empiris lainnya dapat kita saksikan di berbagai tempat di Indonesia seperti Kalimantan Barat (Cornelis) dan Kalimantan Tengah (Agustinus Teras Narang) beragama Kristen/Katholik, di tengah mayoritas masyarakatnya adalah Muslim. Di Solo, Walikota Solo dipimpin oleh FX. Hadi Rudyatmo, beragama Katolik bahkan sebelumnya menjadi Wakil Walikota Solo mendampingi Jokowi sebagai Wakil Walikotanya, tetapi diterima sebagai Kepala Daerah oleh mayoritas warga masyarakatnya yang mayoritas Muslim. Begitu pula dengan pilkada di pelbagai daerah di luar Jawa, seumlah Partai Politik Islam mengusung Pasangan Calon Gubernur/Bupati/Walikota beragama non Muslim dan terpilih dalam pilkada, tidak ada syarat batal dan tidak ada yang membatalkan.

Fakta-Fakta Yuridis

Di dalam UU Pemerintahan Daerah, UU Pilkada dan UU Penyelenggara Pemilu, baik di dalam bagian Menimbang dan Mengingat (pertimbangan hukum) maupun di dalam pasal-pasal dan penjelasannya tidak terdapat sataupun butir yang mempertimbangkan Surat Al Maidah ayat 51 sebagai syarat dalam penentuan calon dan syarat2 pencalonan. Bahkan terkait pilkada DKI Jakarta dan seluruh Indonesia, pemerintah dengan tegas menyatakan sikapnya bahwa negara hanya tunduk kepada hukum positif, artinya bahwa hanya UUD 1945 dengan segala Undang-Undang Organik sebagai Peraturan Pelaksananya secara hirakis wajib dipakai sebagai dasar bertindak dalam segala hal menghadapi persoalan bangsa dan negara.

Begitu pula dengan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) dalam berbagai putusannya pada setiap sengketa Pilkada atau sengketa pemkazulan, tidak pernah dalam putusanhya baik menerima, mengabulkan ataupun menolak sengketa hasil pilkada atau pemakzulan seorang Gubernur/Bupati/Walikota, karena alasan Surat Al Maidah ayat 51atau hanya karena ybs. beragama non muslim di daerah yang penduduknya mayoritas muslim. Mengapa MK dan MA bersikap demikian, oleh karena dalam UUD’45 dan berbagai perundang-undangan negara sebagai hukum positif, tidak terdapat larangan seorang non muslim menjadi pemimpin rakyat, entah sebagai Walikota/Wakil Walikota, Bupati/Wakil Bupati, Gubernur/Wakil Gubernur dan/atau Presiden/Wakkl Presiden RI.

Karena itu ketika ada politisi, oknum pejabat atau siapapun yang menggunakan Surat Al Maidah ayat 51 untuk menghalang-halangi seorang non muslim sebagai calon pemimpin, entah di Jakarta atau dimanapun di Indonesia, maka sebagai Gubernur DKI Jakarta Ahok wajib menyatakan hal-hal faktual yang dialaminya yang dari aspek “pendidikan politik” dalam berbangsa dan bernegara, sebagai sebuah kewajiban azasi yaitu memberikan pencerahan kepada warganya, termasuk pernuyataannya : “Bapak-Ibu jangan mau dibohongi pake Surat Al Maidah ayat 51” dstnya, oleh karena berdasarkan alasan empirik dan yuridis, pencalonan Ahok sah menurut hukum nasional sebagai hukum positif yang mengikat secara hukum seluruh warga negara Indonesia, tanpa ada halangan baik secara yuridis maupun secara politik.

Dengan demikian, pendapat ahli Rahayu Surtiati bahwa pernyataan Ahok yang demikian itu, tidak merupakan penistaan agama, sehingga dengan demikian tidak ada Tindak Pidana Penistaan Agama, karena parameter yang digunakan oleh Ahok dan Negara atau siapapun sebagai pemimpin pemerintahan, adalah UU sebagai hukum nasional yang merupakan hukum positif, bukan kepada hukum Islam atau hukum agama lainnya.

Penulis Adalah Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia dan Advokat Peradi di Jakarta

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Puan Singgung Soal Strategi Menang di Jawa Barat dan Sumatra Pas Bicara di Rakernas III

JAKARTA-Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Puan Maharani menyebutkan peta dan

Laba Bank Mega Turun 13,37% Jadi Rp3,51 Triliun pada 2023

JAKARTA-PT Bank Mega Tbk (MEGA) melaba Rp3,51 triliun (Rp299 per