LIPI: Jangan Biarkan Anarkisme Mendominasi Politik Nasional

Friday 6 Jan 2017, 7 : 25 am
by
Guru Besar LIPI, Syamsuddin Haris saat diskusi di Rumah Lembang

JAKARTA-Guru Besar Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris meminta partisipasi masyarakat untuk menolak setiap upaya mengagalkan demokrasi yang fondasinya dibangun oleh founding fathers diatas kemajemukan. Jika tidak ditolak maka Indonesia tidak hanya kehilangan Basuki Tjahaja Purnama dan demokrasi, tetapi juga berdampak pada hancurnya bangsa Indonesia. “Tidak ada Indonesia tanpa keberagaman. Sebab, bagaimanupun keberagaman adalah salah satu fondosi bangsa kita. Untuk itu, atas nama apapun, upaya mencederai pluralisme harus kita tolak,” ujar Syamsudin di Rumah Lembang Jakarta, Kamis (5/1).

Dia mengapresiasi keberadaan Rumah Lembang. Perjuangan yang digalang Rumah Lembang, termasuk penasehat hukum di Rumah Lembang ini, bukan hanya untuk kepentingan Ahok semata, tetapi mengawal hukum dan demokrasi di Indonesia. “Saya mengapresiasi betul perjuangan itu untuk kepentingan kita semua dan bukan hanya kepentingan Ahok semata,” terangnya.

Menurutnya, proses pengadilan ini menjadi moment bagi anak bangsa untuk memaknai proses hukum di Indonesia. Hal ini sekaligus menjadi ujian, apakah politik, hukum dan demokrasi di negeri ini ditentukan oleh tekanan masa atau oleh akal sehat. “Kalau kemudian, pengadilan, hukum, politik dan demokrasi ditentukan oleh tekanan masa maka saya katakan dampaknya bukan saja Ahok gagal menjadi gubernur DKI Jakarta, tetapi hancurnya komitmen kebangsaan kita sebagaimana diletakan oleh founding fathers pada periode 1945 ataupun sebelumnya,” tegasnya.

Karena itu, dia berpendapat bahwa dalam situasi dimana pengadilan tidak lebih sebagai rekayasa untuk menjegal Ahok tampil kembali sebagai cagub maka masyarakat harus melakukan sesuatu. “Sesuatu itu bisa melalui tulisan atau apapun yang bisa kita lakukan. Walaupun itu tidak mudah di jaman media sosial ini,” imbuhnya.

Sebab, sebagian dari masyarakat Indonesia belakangan ini tiba-tiba menjadi paranoid. “Sebagian teman kita tidak begitu waras melihat realitas politik dan hukum. Tiba-tiba kita dikejutkan oleh kolega kita yang merasa lebih Islam dari kita. Padahal Islami atau tidak, itu otoritas Tuhan. Hak Tuhan untuk mengatakan anda lebih Islami atau lebih kafir ketimbangan yang lain,” tuturnya.

Dia menegaskan, pengadilan terhadap Ahok ini sangat serius. Sebab pengadilan ini menjadi ujian terhadap esensi keIndonesia-an yang berfondasikan keberagaman. “Dalam mengawal Indonesia, sebaiknya kita tidak mudah kalah. Biarkan dicaci maki,  silahkan. Puas-puaskan membully kita. Namun kita tetap berjuang untuk Indonesia yang majemuk,” tegasnya.

Apalagi, negara hukum yang menjadi cita pendiri bangsa ini , bukan dalam artian ‘law’, tetapi ‘recht’. “Jadi, hukum yang berbasis keadilan dan bukan hukum berbasis pada yuridis formil yang belum tentu menciptakan keadilan,” imbuhnya.

Profesor Riset LIPI ini menyakini, Ahok tidak melakukan penistaan agama. Karena itu, jangan sepenggal-penggal mengutip ucapan Ahok. “Tidak niat disana. Kalau kita ikuti secara utuh apa yang disampaikan Ahok di Kepulauan Seribu sama sekali nggak ada niat. Untuk itu, jangan pula dibaca dengan nada ‘sumbu pendek’ , emosional, prasangka dan kebencian atau secara negatif,” tegasnya.  “Nggak mungkin Ahok melakukan itu. Ahok politisi yang memulai dari bawah. Dia pasti tahu,sebagai minoritas hidup dalam perpolitikan mayoritas. Jadi, kita pakai akal sehat saja. Selesai itu,” urainya.

Karena itu, perlu ada upaya kolektif untuk mengawal semua ini. Sebab inilah pengadilan politik untuk menjegal Ahok.
”Nggak ada yang lain. Nggak ada urusan dengan penodaaan agama. Ini adalah upaya atau rekayasa untuk menjegal Ahok menjadi gubernur kembali,” urainya.

Indikasinya lanjut Syamsuddin dengan penetapan Ahok sebagai tersangka oleh polisi dibawah tekanan. “Pengadilan terhadap Ahok dan dakwaan jaksa juga dilakukan dibawah tekanan, baik aksi 411 maupun aksi 212. Oleh sebab itu, pengadilan ini tidak benar sejak awal,” katanya.

Karena itu, dia berharap majelis hakim tidak seperti polisi ataupun Jaksa yang tunduk begitu saja pada pengadilan jalanan. “Kalau segala sesuatu, proses politik atau hukum ditekan melalui pengadilan jalanan maka tidak ada lagi demokrasi. Yang ada adalah anarki. Jadi salah kalau ada yang mengatakan kita mengawal Ahok. Bukan,tetapi kita mengawal Indonesia,” ucapnya.

Lebih lanjut dia meminta agar jangan membiarkan anarki mendominasi perpolitikan bangsa ini. Sebab, perjuangan menegakan hukum dan demokrasi ini bukan tanpa pengorbanan. “Kita mengalami tahun 1998, kita berjuang menegakan sistem hukum yang adil, sistem demokrasi yang mengakomodasi semua kepentingan masyarakat,” pungkasnya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Menakar Arah Bidak Catur Jokowi

Oleh: Saiful Huda Ems Rupanya ada yang luput dari perhatian

MEA 2015: Fasilitasi Investasi, Jokowi Jangan Lukai Buruh

JAKARTA-Indonesia for Global Justice (IGJ) meminta agar promosi investasi yang