M. Solihin Humaidy, SH. MH: Asa Seorang Anak Kampung

Sunday 29 Mar 2015, 7 : 39 pm
by

“Enak benar jadi Hakim. Bisa bentak-bentak orang dan bisa memasuki orang dalam penjara pula.”

Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk sukses di Jakarta. Lahir dan dibesarkan di kampung bukan berarti tidak memiliki kesempatan. Banyak tokoh besar yang sukses, datangnya dari kampung. Sebut saja Joko Widodo, Jusuf Kala, Fadel Muhamad atau Aburizal Bakrie. Tentu masih banyak lagi toko besar yang berasal dari kampung.

Kemauan dan tekad yang tinggi menjadi modal besar untuk meraih kesuksesan di Jakarta. M. Solihin, SH. MH. anak seorang transmigran Lampung pada tahun 1948, merupakan salah satu potret keberhasilan orang tua transmigran. Solihin demikian pria kalem ini biasa disapa mengaku ayahnya adalah transmiran pertama dari Jawa yang dikirim Belanda ke Desa Ramat Aji, Batang Hari Noban, Lampung Timur, Lampung pada tahun 1948.

Sebuah desa kecil di Lampung Timur menjadi saksi sejarah Solihin merajut mimpi menjadi seorang penegak hukum. Awalnya bercita-cita menjadi hakim tetapi kandas. Dia pun kemudian memilih menjadi seorang advokat. Semuanya diraih dengan kerja keras tanpa lelah. Cita-cita menjadi hakim itu muncul ketika Solihin sadar bahwa hakim adalah profesi paling superior di bumi karena bisa menghukum seseorang yang diyakininya bersalah.

Menurut pria kelahiran 1980 ini, kesadaran itu tumbuh ketika duduk di bangku SMP kelas III. Remaja tanggung ini dihadapkan ke pengadilan sebagai seorang saksi dalam perkara penganiayaan (Pasal 170 KUHP). Meskipun baru pertama kali berurusan hukum di pengadilan, Solihin tidak merasa takut atau sungkan dengan aparat penegak hukum. Dia justru menunjukan sikap polosnya. Ketika siding di Pengadilan Negeri Tanjung Karang Lampung Timur di mulai, Solihin justru bermain dengan memutar-mutar kursi roda yang sedang dia duduki. Kursi khusus untuk saksi atau terdakwa. Melihat tingkah laku siswa SMP ini membuat majelis hakim geram. Seorang hakim pun membentaknya dan mengancam akan menjebloskan ke dalam penjara.

“Saya dibentak-bentak oleh hakim karena memutar-mutar kursi. He…kamu! diam ya… kalau tidak bisa diam saya penjarakan kamu,” ujar Hakim tersebut dengan nada tinggi. Sontak Solihin terdiam. Rasa takut pun membuncah. Dalam hatinya dia bergumam. “Hakim kok enak banget. Bisa bentak-bentak orang dan bisa memasuki orang dalam penjara pula. Enak benar jadi hakim,” ujar lulusan master hukum Universitas 17 Agustus Jakarta ini.

Penasaran dengan kekuasaan yang dimiliki hakim Solihin pun menanyakan hal itu ke orang tuanya. Siapa sih hakim itu. Menurut penjelasan orang tuanya hakim itu wakil Tuhan di dunia. Namun untuk menjadi hakim harus sekolah tinggi. “Kuliahmu harus tinggi dan di Lampung tidak ada,” ujar orang tuanya menjelaskan. Sejak saat itu tekadnya terus tumbuh. Setelah lulus Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN), Solihin hijrah ke Jakarta dan mengambil kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta.

“Kampus-kampus di lampung saat itu jarang ada Fakultas Hukum. Lampung Timur itu kota kecil. Kuliah di Jakarta tidak mudah. Biaya hidup dan kuliah sangat mahal. Ya untuk biaya kuliah orang tua jual padi, ternak, jual apa aja. Tapi akhirnya lulus dengan hasil cum laud,” ujarnya bangga.

Setelah lulus kuliah, Solihin mengikuti beberapa kali test menjadi hakim. Namun saying, dia selalu gagal. Manusia boleh merencanakan tetapi tetap Tuhan yang menentukan. “Saya ikut beberapa kali tes, tetapi tidak lulus. Mungkin itu bukan nasib saya,” ujar Solihin kepada beritamoneter.com

Gagal menjadi hakim, Solihin akhirnya memilih menjadi seorang pengacara. Kedua profesi ini sama-sama penegak hukum. Kini dia menikmati pekerjaan sebagai pengacara. Menurutnya pengacara merupakan pekerjaan terhormat dan mulia (officium nobile).

 

Menegakan Officium Nobile

Rancangan Undang-Undang Advokat yang sejatinya akan di sahkan pada masa kerja DPR RI periode 2009-2014 akhirnya tidak disahkan. Pro dan kontra antara organisasi advokat membuat berita tentang RUU ini sangat seksi diakhir masa kerja DPR RI periode lalu. Peradi sebagai oranganisasi advokat yang paling aktif menolak RUU ini pun legah.

Solihin yang juga anggota Peradi mengaku menolak RUU ini. Pertama, terkait akan diterapkan system multi bar. Jika system ini diterapkan maka setiap organisasi atau perkumpulan advokat akan mudah membentuk organisasi advokat. Minimal 35 orang dapat membentuk sebuah organisasi advokat. Setiap organisasi dapat menyelenggarakan pendidikan dan ujian advokat sendiri sehingga akan sangat mudah mendapatkan kartu lisensi tanpa mempedulikan kualitas.

“Sekarang banyak sekali advokat yang keberadaanya tidak jelas. Ini akan sangat berpengaruh pada kualitas advokat sendiri. Sementara kita sendiri menyebut advokat sebagai profesi mulia dan terhormat (officium nobile). Bagaimana itu bisa tercapai kalau banyak sekali yang tidak beres dari sisi keprofesionalannya,” ujar Solihin.

Organisasi seperti Kongres Advokat Indonesia (KAI) lahir karena kecewa terhadap Peradi. Banyak sekali anggota yang ditolak Peradi karena kualitasnya tidak memenuhi standar yang diterapkan. Maka, segelintir orang yang sebelumnya juga anggota Peradi membentuk organisasi tandingan yang namanya KAA itu. Tujuan organisasai ini adalah untuk mempermuda dalam pendidikan dan perolehan lisensi.

“Kalau RUU disahkan akan membahayakan eksistensi pengacara sebagai officisum nobile. Sekitar 22 ribu calon advokat akan dengan sendirinya dilantik. Mendingan sedikit tetapi kualitasnya bagus (Non Multan sed multum).

Materi lain dari RUU itu yang diprotes adalah keberadaan pengacara hanya sebagai bantuan polisi (banpol). Artinya kewibawaan seorang advokat akan turun dihadapan polisi. Padahal pengacara dan polisi mempunyai kedudukan yang sama. Sama-sama sebagai penegak hukum menurut UU UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

“Ketika pengacara hanya dijadikan sebagai banpol maka dengan sendirinya peran dan pengaruh pengacara dalam menangani perkara akan turun. Tadinya sejajar dengan polisi tetapi kehadiran RUU ini akan mendegradasikan peran dan fungsi pengacara.”

Persoalan lain adalah kekuasa di kepengurusan Peradi yang hanya dipegang oleh segelintir orang. Ini juga menjadi persoalan serius. “Karena itu, kalau pengurusannya lima tahun ya lima tahun jangan sampai ada yang berusahaan agar kekuasaan disana tanpa batas,” ujar pengacara dan politisi yang sedang digadang-gadang menjadi wakil bupati Lampung Timur ini.

Solihin mengaku ada oknum dan kelompok tertentu yang merubah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga agar tetap bisa mempimpin Peradi. Mestinya memang harus dikoreksi secara internal. “Kami setuju dengan Peradi sebagai wadah tunggal tetapi kritisi bahwa masa kepemimpinan seorang pengurus harus dibatasi dan aturannya harus diatur secara tegas sehingga tidak bisa diatur suka-suka oleh pengurus atau orang-orang yang dianggap kuat disana. harus gantilah jangan hanya beliau-beliau terus,” ujarnya. (ALFONS)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Aturan Izin Nyapres Digoreng Jadi Komoditas Politik

JAKARTA-Peraturan Pemerintah (PP) terkait izin presiden untuk kepala daerah yang
beban pokok penjualan KAEF di paruh pertama 2021 meningkat menjadi Rp3,7 triliun dari Rp2,9 triliun di periode yang sama 2020. Sehingga, laba bruto di Semester I-2021 menjadi Rp1,86 triliun.

Kuartal III-2022, Kinerja Keuangan KAEF Mulai Berbalik Naik

JAKARTA-Direktur Utama PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF), David Utama