Oleh: Said Abdullah
Kelangsungan hidup sebuah partai politik di Indonesia masih sangat bergantung pada kekuatan dari sosok pendirinya.
Selama masa mencari bentuk, sosok pemimpin yang sangat kharismatik memang diperlukan supaya sebuah parpol memiliki basis pijakan yang kuat.
Sebab, sehebat apapun visi dan misinya, sebagus apapun program-programnya, dan seberapa besar persentase kemenanganannya dalam pemilihan umum, kalau sosok pemimpinnya tidak kuat dan tidak berkarakter, popularitas parpol itu bisa lekas pudar, bahkan layu sebelum berkembang alias kalah sebelum bertanding pada ajang pemilu.
Figur yang kuat dan berpengaruh itu pada umumnya melekat dengan pribadi pendiri partai.
Namun, jika proses kaderisasi tidak dilakukan dengan baik, maka ketika era sang pendiri berlalu, maka selesai pula keberadaan partai politik tersebut.
Suka atau tidak, proses regenerasi atau pergantian kepemimpinan cenderung menimbulkan riak, bahkan gejolak yang berujung pada perpecahan.
Kita tidak perlu melihat jauh-jauh untuk memahami persoalan ini, tetapi cukup belajar dari kisruh kepengurusan yang menggerogoti beberapa partai politik yang ada saat ini.
Bukan tidak mungkin, persoalan serupa potensial terjadi pada banyak partai lain kalau tidak dideteksi secara dini.
Namun persoalan kaderisasi ini bukan lagi menjadi persoalan di PDI Perjuangan. Hal ini sudah tuntas.
Ibu Ketua Umum telah meletakan fondasi dasar pembentukan kader partai dalam bentuk proses kaderisasi secara berjenjang.
Bentuk regenerasi berjenjang ini dimulai dari kader tingkat pratama, madya, hingga utama.
Semakin tinggi jenjangnya, semakin memungkinkan kader itu menduduki posisi kepemimpinan di partai, legislatif, ataupun eksekutif. Hasil kaderisasi ini sudah terlihat jelas.