Menang Atas IMFA, Pemerintah Jangan Lengah

Thursday 4 Apr 2019, 9 : 21 am
by
IGJ
Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice

JAKARTA-Indonesia for Global Justice (IGJ) menyambut baik kemenangan Indonesia atas IMFA. Namun, IGJ meminta agar Pemerintah Indonesia tidak lengah atas kemenangan Indonesia atas India Metal Ferro Alloys (IMFA) di Permanent Court of Arbitration (PCA). Hal ini karena potensi IMFA menghindar dari kewajiban yang ditetapkan dalam putusan PCA dapat terjadi.

Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, menjelaskan belajar dari pengalaman kasus gugatan Churcill Mining terhadap Indonesia, ada upaya bahwa permohonan Annulment of the Awards terhadap putusan ICSID menjadi salah satu trik untuk menghindari kewajiban membayarkan biaya perkara yang diperintahkan dalam putusan.

“Memang betul kemenangan atas IMFA telah menghindarkan Negara untuk mengalami kerugian sebesar US$469 juta. Tetapi ada fakta bahwa pengajuan permohonan pembatalan terhadap putusan (Annulment of the Awards) menjadi salah satu strategi investor yang kalah untuk menghindari kewajiban yang menyebabkan penegakan atas putusan tidak dapat dilaksanakan. Kasus Churchill harus jadi pembelajaran bagi Pemerintah Indonesia,” terang Rachmi.

Walaupun Pemerintah Indonesia menang tetap saja Negara akan selalu menjadi pihak yang dikalahkan. Hal ini karena perusahaan multinasional akan terus berupaya mencari celah hukum untuk menghindari kewajiban walaupun pengadilan ataupun arbitrase telah mengeluarkan putusan.

“Termasuk ditolaknya permohonan Churchill atas Annulment of the Awards oleh ICSID bukan berarti Churchill akan dengan mudah membayarkan kewajibannya sesuai dengan Putusan. Jika pun pada akhirnya pemerintah memaksa untuk mensita asset Churchill ataupun melakukan MLA, tetap saja ada biaya diplomasi yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah”, tegas Rachmi.

Rachmi kembali mengingatkan Indonesia masih berpotensi untuk dapat digugat oleh investor asing di lembaga arbitrase internasional. Hal ini dikarenakan Perjanjian Perdagangan dan Investasi internasional Indonesia masih mengatur mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS), yaitu mekanisme yang memberikan hak kepada investor untuk dapat menggugat negara di arbitrase internasional.

“Walaupun Pemerintah Indonesia sudah menghentikan banyak Bilateral Investment Treaty (BIT), tetapi aturan survival clause yang ada didalam perjanjian tersebut tidak menggugurkan hak investor asing untuk dapat menggugat dengan jangka waktu yang biasanya 10 sampai 15 tahun sejak BIT dihentikan. Selain itu, BIT Indonesia-Singapura dan Indonesia-Australia CEPA yang baru saja ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia memuat kembali mekansime ISDS dan tentu akan membuka peluang investor untuk menggugat”, tegas Rachmi

Apalagi dalam prakteknya, banyak dari gugatan ISDS dimanfaatkan oleh Investor yang tidak beritikad baik dengan menggunakan nationality shoping dan tax treaty shoping. Sehingga meningkatnya kasus ISDS juga didominasi oleh Frivolous claim yang merugikan negara.

“Menanggapi kasus gugatan investor yang tidak beritikad baik akan merugikan Indonesia dan hanya akan membebani anggaran negara. Maka, sudah seharusnya mekanisme ISDS itu dihindari oleh Indonesia,” tambah Rachmi.

Oleh karena itu IGJ mendesak kepada Pemerintah Indonesia agar tidak lupa pada komitmen yang pernah diambil untuk menghindari mekanisme ISDS dan untuk tidak diatur di dalam perjanjian internasional Indonesia, Baik BIT maupun FTA/CEPA.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Uskup Padang Hadiri Pertemuan IRRIKA di KBRI Vatikan

ROMA-Uskup Keuskupan Padang Mgr Vitus R Solichin, SX, menghadiri pertemuan
Koalisi Warga Untuk Keadilan Akses Kesehatan

Koalisi Warga Untuk Keadilan Akses Kesehatan Tolak Vaksin Gotong Royong Berbayar

JAKARTA-Koalisi Warga untuk Keadilan Akses Kesehatan mendesak pemerintah mencabut program