Menolak Argumentasi Hukum Yusril Soal Abu Bakar Ba’asyir

Saturday 26 Jan 2019, 2 : 55 am
by
Saiful Huda Ems, Lawyer dan Pengamat Politik yang juga Ketua Umum HARIMAU GANJAR (HAJAR)

Oleh: Saiful Huda Ems (SHE)

Tanpa bermaksud menyudutkan Prof. Yusril Ihza Mahendra (YIM) yang sebelumnya terus menerus menyerang Presiden Jokowi dengan ganas dengan berbagai pernyataan konyolnya, namun kemudian bertaubat, balik badan dan kemudian beruntung diangkat menjadi penasehat hukum pribadi Presiden Jokowi, saya ingin memberikan sanggahan atas dalil hukum yang dinyatakan YIM terhadap sarannya pada Presiden Jokowi agar segera membebaskan Ustadz Abu Bakar Ba’syir (ABB) melalui kewenangan konstitusi yang dimilikinya.

Bagi YIM Peraturan Pemerintah (PP) No. 99/2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan yang mewajibkan seorang narapidana terorisme untuk setia pada Pancasila dan NKRI itu tidaklah berlaku untuk kasus ABB.

Hal itu menurut YIM karena PP itu terbit pada Tahun 2012 sedangkan ABB divonis sudah sejak Tahun 2011 atau sebelum PP itu keluar. Masih menurut YIM, harusnya peraturan turunan yang berlaku untuk pembebasan ABB adalah PP No.28/2006 Tentang Syarat & Tatacara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan, yang dalam PP tersebut, tidak ada kewajiban bagi seorang narapidana terorisme untuk menandatangani ikrar kesetiaan pada Pancasila dan NKRI.

Jika kita mencermati pernyataan YIM ini, akan kita dapati bahwa sesungguhnya YIM telah mendasarkan pendapatnya pada asas hukum non retroaktif, atau hukum tidak berlaku surut yang berarti hukum yang dibuat kemudian tidak boleh menghukumi perbuatan di masa lalu atau sebelum hukum itu dibuat.

Asas hukum ini memang sangat kuat dalam hukum pidana, dan secara umum tidak berlaku pada hukum perdata. Asas ini menjadi populer dalam hukum pidana sejak ahli filsafat hukum yang bernama Von Feuerbach membuat adagium yang sangat terkenal, yakni nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Jika diartikan secara bebas berarti: tidak ada tindak pidana (delik), atau tidak ada hukuman tanpa didasari peraturan yang mendahuluinya.

Adagium di atas merupakan dasar dari asas ketentuan pidana tidak dapat berlaku surut (asas non retroaktif), karena suatu tindak pidana (delik) tidak dapat dianggap sebagai suatu kejahatan manakala tidak ada aturan sebelumnya yang melarang perbuatan tersebut untuk dilakukan. Jadi sangat mungkin sekali YIM ingin membebaskan ABB tanpa harus tanda tangan ikrar kesetiaannya pada Pancasila dan NKRI karena mendasarkan argumentasi hukumnya pada asas hukum non retroaktif tersebut.

Sebab menurut YIM Peraturan Pemerintah No.99/2012 keluar justru setelah ABB divonis di tahun 2011.

Lalu mengapa saya melalui tulisan ini harus mengatakan bahwa saya menolak argumentasi hukum yang dilontarkan oleh YIM?

Begini jawaban saya:

Bagi saya YIM itu lupa bahwa ada asas penafsiran hukum lainnya yang tidak boleh kita langgar dalam usaha menegakkan hukum, yakni asas Lex superior derogat legi inferior. Asas ini secara umum dapat diartikan dengan peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah.

Dalam hierarki peraturan Perundang-undangan di Indonesia, posisi Peraturan Pemerintah (PP) itu berada di bawah UUD 1945, ini artinya YIM yang mendasarkan argumentasinya hanya semata pada PP No.28/2006 sebagai dalil untuk membebaskan ABB sangatlah tidak tepat. Sebab di dalam konstitusi (UUD 1945) Pasal 30 ayat 1 telah dinyatakan, bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.

Pasal 30 ayat 1 UUD 1945 di atas mengandung arti bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara dengan cara di antaranya adalah harus setia pada ideologi negara, yakni Pancasila dan setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebab tanpa Pancasila dan NKRI berarti Indonesia bubar. Lalu bagaimana mungkin ABB yang tidak bersedia menandatangani ikrar kesetiaannya pada Pancasila dan NKRI harus dibebaskan dari penjara, terlebih status ABB adalah narapidana Terorisme?

Baiklah, jika asas Lex superior derogat legi inferior masih tidak cukup memuaskan untuk menolak argumentasi hukum YIM, maka akan saya kemukakan disini asas penafsiran hukum berikutnya, yakni asas Lex posterior derogat legi priori. Asas ini bermakna hukum yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lama (lex prior). Ini berarti bahwa PP No.99/2012 harusnya lebih didahulukan daripada PP No.28/2006.

Selain daripada itu harus pula diingat oleh YIM, bahwa ada syarat formil untuk perkara narapidana terorisme yang harus dipenuhi oleh ABB. Jika benar-benar ingin dibebaskan, syarat formil sebagaimana diatur dalam UU No.12 Tahun 1995 dan dijabarkan secara detail melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.3/2018 Tentang Syarat dan Tatacara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat itu antara lain adalah: bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya, serta menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan pemohon dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar kesetiaan pada Pancasila dan NKRI secara tertulis.

Sayang sekali ABB nyatanya tidak bersedia memenuhi syarat formil untuk perkara narapidana terorisme itu. ABB tidak bersedia menandatangani ikrar kesetiaannya pada Pancasila dan NKRI. Olehnya saya sangat sepakat bahwa pada akhirnya Presiden Jokowipun menolak saran dari YIM untuk membebaskan ABB meski Pemerintahan Jokowi akan tetap memperhatikan penanganan kesehatan bagi Ustadz ABB yang memburuk di usia beliau yang memasuki 81 tahun.

Hukum yang harus ditegakkan tanpa pandang bulu memang terasa kejam bagi seorang narapidana yang berusia 81 tahun. Namun jika membiarkan ratusan juta rakyat tanpa kepastian hukum akan jauh terasa lebih kejam.

Karena itu pembatalan pembebasan hukuman penjara untuk ABB yang diputuskan oleh Pemerintahan Jokowi adalah suatu keputusan yang sangat arif dan bijaksana, kecuali ABB bersedia menyesali perbuatannya dan mau menandatangani ikrar kesetiaannya pada Pancasila dan NKRI itu beda persoalan lagi. Demikian. Wallahu a’lam bishawab…(SHE).

Penulis adalah Advokat serta Ketua Umum Pimpinan Pusat HARIMAU JOKOWI

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Indeks Keberdayaan Konsumen Belum Terukur

JAKARTA-Meski menjadi konsumen terbesar ke-4 dunia setelah China, India, dan

Tingkat Bunga Penjaminan Naik 25 bps

JAKARTA-Rapat Dewan Komisioner (RDK) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melakukan evaluasi