JAKARTA-Masyarakat Jakarta sudah tidak sabar lagi menunggu pengoperasi moda transportasi baru, Mass Rapid Transit (MRT). Wajar saja, operator MPR perlu menyiapkan segalanya, termasuk SDM. Petugas kereta, sebanyak 17 instruktur masinis, 54 masinis, dan 12 pengendali Operation Control Center (OCC) MRT telah mendapatkan pelatihan di Malaysia dan Jepang. Sehingga pengoperasian perdana tak boleh mengecewakan, yakni 12 Maret 2019.
Namun dari hasil penelitian ternyata rencana operasi awal MRT tidak seperti yang diharapkan. Karena produktivitasnya ternyata telah turun 60% dari rancangan awal 2017 (Basic design Jmec 2015). “Dimana target awalnya sebesar 173.400 penumpang/hari, kini menjadi 60.000 penumpang/hari,” kata Pengamat Transportasi, Harun Al Rasyid dalam siaran persnya di Jakarta, Senin (4/3/2019).
Apalagi, kata Dosen Teknik Sipil ITB, aset rolling stock idle mencapai 50%, ini berarti ada kelebihan pengadaan. Begitupun dengan Design Congestion Ratio at peak 190% (6 cars). “Dengan turunnya target cuma 60.000 daily, maka peak seasonnya diperkirakan tidak lebih 9000 dan cukup 3 cars saja. Sehingga 50% idle sambil nunggu ridership naik,” tambahnya.
Oleh karena itu, Harun menyarankan agar Pemprov DKI Jakarta tetap mempertahankan Bus Rapid Transit (BRT) Koridor 1, yakni Blok M- Kota . Namun kelihatannya untuk tarif BRT ini perlu penyesuaian, artinya Rp3500 tidak layak lagi. Hal ini, karena 70% sudah hilang tertelan inflasi. Setidaknya menurut perhitungan, tarif yang pantas itu sekitar Rp5000 hingga Rp7500/penumpang. Namun karena sudah ada MRT, bisa jadi frequency BRT dikurangi,” ungkapnya lagi.
Sementara untuk tarif MRT, katanya, perkiraan yang ideal itu antara Rp10.000 sampai Rp15:000/penumpang. Namun realiasai MRT ini juga perlu mendapat dukungan dengan mempercepat piloting dan implementasi ERP
Yang jelas, lanjut Harun, “kelemahan” itu karena saat konstruksi MRT, ternyata ada perubahan basic desain. Hal itu sesuai dengan hasil konsultan JMEC 2015 , seperti pergeseran lokasi2 stasiun. “Ditambah lagi, karena ada hambatan lahan. Sehingga biaya konstruksi pun naik melebihi hitungan awal,” paparnya.
Menurut Harun, pergantian CEO MRT hingga 3 kali selama kurun 3-4 tahun terakhir sangat jelas menandakan implementasi MRT lebih mengutamakan pendekatan politis ketinbang teknis. “Banyak ketumpangan teknis, terutama utk kemudahan dan kenyamanan pejalan kaki masih terabaikan di beberapa stasiun,” ucapnya.
Padahal tupoksi PT MRT terlalu berat, sambungnya, ibarat tugas Sangkuriang harus menyelesaikan segala rupa dengan waktu singkat. Padahal ada tugas tertentu, dimana Pemda lebih kompeten, seperti pembebasan lahan. “PT MRT owner harus merangkap jadi pengawas , persiapan sebagai calon operator , pengembang TOD, dan sebagainya,” pungkasnya. ***