JAKARTA-Nilai tukar rupiah pada perdagangan Senin (8/7) diperkirakan kembali melemah seiring dengan rilis membaiknya data-data ketenagakerjaan Amerika Serikat (AS) yang memunculkan spekulasi The Fed akan mengurangi stimulusnya. “Rupiah diperdagangkan dikisaran 9.900-9.980 per dollar AS,” ujar Kepala Divisi Treasury BNI, Nurul Eti Nurbaeti di Jakarta, Minggu (7/7).
Menurut dia, tekanan terbesar rupiah masih bersumber dari eksternal. Salah satunya adalah soal keberlanjutan program stimulus. Ketidakjelasan ini membuat investor menjual aset-aset yang mereka miliki di pasar berisiko dan memburu dollar AS sebagai mata uang yang paling aman berinvestasi. “Kondisi ini turut menekan rupiah,” tutur dia.
Dia menambahkan, jika tingka pengangguran menunjukan laju pemulihan pada pasar tenaga kerja di AS, akan tetap menjaga penguatan dolar AS akibat skenario pengurangan stimulus semakin kuat.
Non-farm payrolls AS sudah diprediksi tumbuh ke 162 ribu dan kemungkinan akan direvisi lebih tinggi menjadi 170 ribu dari seblumnya 175 ribu.
Hanya saja, kata dia kisruh politik di Portugal yang melemahkan nilai euro dengan melonjaknya yield obligasi dan borrowing cost di sejumlah kawasan zona euro. “Ini terkait dengan kecemasan pasar atas lonjakan yield obligasi Portugal,” timpal dia.
Dari dalam negeri kata dia, belum banyak sentimen positif yang menopang pergerakan rupiah. Apalagi, fokus pelaku pasar masih tertuju pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang digelar pada 11 Juli nanti. BI diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan atau BI rate seiring meningkatnya ekspektasi inflasi di dalam negeri. “Hal ini membuat ruang bagi pergerakan rupiah terbatas,” urai dia.
Namun demikian, langkah penjagaan BI di pasar uang sedikit membantu meredakan terkanan terhadap rupiah. “Maraknya aksi jual saham oleh asing terus menekan rupiah tetapi dapat diredam oleh bank sentral,” pungkas dia.