Penurunan Tarif Interkoneksi Diduga Rugikan Telkomsel?

Monday 29 Aug 2016, 3 : 28 pm
kompas.com

BANDUNG- Rencana Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) melakukan penurunan tarif Interkoneksi dinilai hanya mencari popularita semata. Padahal langkah itu diduga merugikan negara dan berpotensi menguntungkan operator asing yang beroperasi di Indonesia. “Penurunan Tarif Interkoneksi oleh Menkominfo tidak menjamin penurunan tarif ke pelanggan, ini hanya langkah mencari popularitas bagi pengguna jasa saja, yang sudah jelas adalah menguntungkan operator asing dan merugikan negara karena pihak yang dirugikan adalah BUMN,” kata Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto dalam siaran persnya di Bandung (28/8/2016)

Wisnu menyoroti prosesnya terkesan terburu-buru, azas kepatutan penandatangan diabaikan, untuk kondisi sekarang tanpa adanya Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) seharusnya tidak layak seorang Plt Dirjen menandatanganinya. “Karena terindikasi melanggar, surat edaran ini potensial dilakukan gugatan ke PTUN, atau bila nantinya dikeluarkan melalui Peraturan Menteri maka potensial diajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung” ujarnya

Isi surat tersebut juga terindikasi melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, khusus mengenai penetapan tarif interkoneksi yang seharusnya didasarkan pada Pasal 22 dan 23 PP tersebut. Dimana Pasal 22 menyebutkan bahwa “Kesepakatan interkoneksi antar penyelenggara jaringan telekomunikasi harus tidak saling merugikan dan dituangkan dalam perjanjian tertulis”.

Artinya tarif interkoneksi tersebut harusnya merupakan kesepakatan seluruh operator. Sedangkan di pasal 23 ayat (1) juga dijelaskan “Dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi melalui 2 (dua) penyelenggara jaringan atau lebih, dikenakan biaya interkoneksi”. Kemudian dilanjutkan di ayat (2) bahwa “Biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil”. Sementara sebagian operator tidak sepakat hasil penetapan pihak Kominfo karena perhitungannya tidak tratsparan, merugikan, dan tidak adil.

Dari sisi besar keuntungan operator asing dan kerugian negara, Wisnu menjelaskan “Jika melihat besaran tarif interkoneksi yang ditetapkan Rp. 204, sedangkan pada Rapat dengar pendapat antara kOMISI I DPR dengan para CEO operator pada tanggal 25 Agustus 2016 lalu, dengan Cost Recovery Rp65,-/menit XL akan untung Rp139/menit, untuk INDOSAT dengan Recovery Rp87/menit akan untung Rp117/menit, untuk Hutchinson dengan Cost Recovery Rp. 120/menit akan jadi untung Rp. 84/menit, Khusus ntuk Telkomsel dengan Cost Recovery Rp285/menit akan rugi Rp81/menit.

Jika trafik interkoneksi antar operator 10 miliar menit per bulan, bisa dihitung berapa keuntungan operator asing tersebut dan kerugian Telkomsel, misal kerugian Telkomsel di sini Rp. 800 milyar per bulan”.
“Idealnya Kementerian menetapkan tarifnya tidak sama rata, tetapi konsisten berbasis biaya masing masing operator. Melihat indikasi kerugian negara karena Telkomsel adalah anak usaha BUMN dan indikasi memperkaya pihak lain ini, walau kebijakan ini populis, kami sedang mengkaji dengan serius untuk melaporkan kebijakan ini KPK dan BPK,” ujarnya seraya menambahkan pihaknya juga berencana menyampaikan aspirasi dalam bentuk unjuk rasa damai kepada DPR minggu depan.

Sementara itu di tempat yang sama, Ketua Umum Serikat Karyawan Telkom Asep Mulyana menyatakan kebijakan tarif interkoneksi dari Menkominfo memang akan membuat Telkomsel sebagai anak usaha Telkom rugi 2 kali yaitu dibayar lebih rendah dari biaya yang seharusnya saat pelanggan Telkomsel dihubungi pelanggan non Telkomsel dan membayar lebih tinggi dari yang seharusnya saat pelanggan Telkomsel menghubungi, sehingga Serikat Karyawan Telkom menolak kebijakan tersebut dan mendukung apa yang akan dilakukan Federasi Serikat BUMN Strategis. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Perta-Samtan Gas Kurangi Impor LPG

JAKARTA-Kehadiran  kilang  PT Perta–Samtan Gas diharapkan mampu mengurangi impor LPG

Biaya per Perkara di MK, 2014 Rp Rp359,1 Juta, 2016 Cuma Rp59,4 Juta

JAKARTA-Center For Budget Analysis (CBA) menuding Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai