JAKARTA-DPP Partai Gerindra menilai ketimpangan ekonomi di Indonesia semakin melebar. Hal ini terjadi akibat model ekonomi yang diterapkan tidak lagi merujuk pada falsafah Pancasila. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang terus dicanangkan tak pernah bisa dinikmati secara merata oleh 250 juta rakyat Indonesia.
“Mengutip laporan Bank Dunia, dalam 15 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dianggap kuat, ternyata tidak linear dengan pencapaian kesejahteraan,” seperti dikutip dari akun twitter @Gerindra, Selasa (9/2).
Dijelaskan, pertumbuhan ekonomi saat ini hanya dinikmati oleh 20% masyarakat terkaya. Sedangkan, 80% penduduk atau lebih dari 205 juta orang rawan tertinggal.
“Ketimpangan itu termasuk ketimpangan peluang dan ketimpangan di pasar kerja. Apalagi saat ini konsentrasi kekayaan ada pada satu kelompok paten,” jelasnya.
DPP Gerindra melihat, potret ketimpangan tersebut secara spasial mudah terbaca dari struktur perekonomian Indonesia tahun 2015.
Perekonomian nasional masih didominasi oleh kelompok provinsi di Jawa dan Sumatera yang memberi kontribusi masing-masing 58,52 persen dan 23,88 persen terhadap PDB.
“Seperti pada kenyataannya kelompok di luar Jawa masih minim, lantaran ada ketimpangan infrastruktur dan energy,” urainya.
Dari sisi struktur usaha tahun 2015, sektor-sektor strategis seperti pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan hanya menyumbang 15,4 persen atas PDB. Padahal, jumlah tenaga kerja di sektor-sektor itu masih dominan, di atas 50 persen.
“Ekonomi sekarang masih sentralistik, timpang, dan tidak bersumber dari aktivitas riil yang menjadi jatidiri bangsa Indonesia,” tuturnya.
Managing Director Bank Dunia Sri Mulyani menilai ketimpangan ekonomi muncul lantaran manfaat pertumbuhan ekonomi suatu negara tak terdistribusi merata ke seluruh penduduk.
“Sejumlah persoalan ketimpangan merupakan efek samping dari pertumbuhan ekonomi. Ketika tak semua orang bergerak dengan kecepatan dan waktu yang sama,” kata Managing Director Bank Dunia Sri Mulyani.