Proyek Infrastruktur Mampu Tinggalkan Middle Income Trap

Tuesday 25 Sep 2018, 7 : 27 pm
anggota Komisi XI DPR Muhammad Misbakhun dalam diskusi "RAPBN 2019 dan Tantangan Pembangunan Nasional” bersama Pengamat ekomomi Ichsanuddin Noersy di Jakarta, Selasa (25/9/2018)

JAKARTA-Pemerintah sangat ngebut dalam pembangunan infrastruktur, bukan karena ambisius. Namun agar Indonesia keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap).

“Lihat saja, Jepang dan Korea, bisa keluar dari middel income trap, karena banyak membangun proyek-proyek infrastruktur. Makanya, China banyak membangun KA Cepat,” kata anggota Komisi XI DPR Muhammad Misbakhun dalam diskusi “RAPBN 2019 dan Tantangan Pembangunan Nasional” bersama Pengamat ekomomi Ichsanuddin Noersy di Jakarta, Selasa (25/9/2018).

Investor banyak bertanya terkait infrastruktur, kata Misbakhun, contohnya perkembangan Tol Tandjung Priok yang sudah selesai. Tentu sangat menggembirakan bagi investor. Begitu juga dengan Tol Trans Jawa, harus selesai 2019.

“Karena itu sangat penting untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi,” tambahnya.

Lebih jauh anggota Fraksi Partai Golkar menceritakan keberadaan Bandara Soekarno-Hatta yang merupakan bandara terbaik era 1985-an. Namun perkembangannya lambat untuk di up-grade.

“Begitu Batam, menjadi pelabuhan terpanjang se Asean, sayang lambat dikembangkan,” paparnya.

Khususnya Tol Trans Jawa, Misbakhun membeberkan bahwa proyek tol tersebut sebenarnya sudah selesai ditender pada era Soeharto dan dimenangkan oleh swasta. Namun karena mangkrak, akhirnya BUMN mengambil alih.

“Pemerintahan Jokowi sadar, setelah banyak fokus pada proyek infrastruktur. Perlu meningkatkan Index Pembangunan Manusia (IPM). Makanya, dana BOS dan Bidikmisi ditingkatkan,” ungkapnya.

Dalam RAPBN 2019, Biaya Operasional Sekolah diberikan untuk sekitar 20,3 juta seluruh siswa yang ada di Indonesia yang saat ini sekolah mulai dari SD sampai SMA mulai dari Madrasah Ibtidaiyah sampai ke Madrasah Aliyah. Kemudian penerima Program Keluarga Harapan (PKH) yaitu untuk masyarakat yang dalam kategori miskin, pesertanya sekitar 10 juta orang.

Namun nilai tanggungannya naik mencapai 100%. Awalnya, hanya Rp1,8 juta/3 bulan. “Sekarang penerimanya sekitar Rp3,2 juta/3 bulan,” ucapnya.

Sementara itu, Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy menjelaskan pendekatan Pemerintahan Jokowi masih pendekatan alokasi. Belum sampai pada pendekatan stabilisasi dan distribusi. Karena APBN bukan hanya bicara alokasi saja.Tapi bicara bagaimana stabilisasi serta distribusi.

“Dengan fungsi seperti itu, saya mencatat 9 tantangan pemerintah yakni 4 tantangan dalam negeri, 5 tantangan eksternal. Misalkan rupiah melemah, mestinya export berkembang untuk mengimbangi kenaikan dolar,” jelas Noorsy.

Bahkan lanjut Noorsy, kalau pakai perhitungan BI dan BPS terakhir, neraca pembayaran tetap di posisi negatif. Kemudian defisit transaksi berjalan mencapai 3% tidak bergeser.

“Itu berarti ekspor kita merangkak naik, namun impor kita tetap tinggi,” ujarnya.

Selain itu, kata Direktur eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik, suka atau tidak suka terjadi gejolak harga. Hal ini karena harga minyak sudah mencapai US$80 dolar/barel, harga ini tertinggi sejak 2008. Sementara asumsi makro dalam RAPBN 2019 hanya US$70/barel. Tentu saja hal ini punya dampak.

“Kalau kita ambil misalnya APBN 2018 harga minyak sekarang harga US$80/barel berarti ada margin dollar per barel untuk kemudian dianggap sebagai penerima lebih. Harga minyak naik ini menarik harga pertambangan yang lain, mengerek batu bara, mengerek gas , sawit dan itu terkerek semua,” pungkasnya. ***eko

Don't Miss

BNI Syariah Buka Dapur Hasanah untuk Petugas Medis Corona

JAKARTA-BNI Syariah bersama Yayasan Hasanah Titik (YHT) membagikan 5000 makanan

Kemenperin Siapkan Tenaga Kerja Kompeten di Era Industri 4.0

JAKARTA-Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menetapkan 10 langkah prioritas nasional di dalam