RPI: Skenario Utama Revisi, Membonsai KPK

Monday 15 Feb 2016, 4 : 15 pm
by
Demonstrasi masyarakat tolak revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas Korupsi (UU KPK)

JAKARTA-Respublica Political Institut (RPI) menentang keras revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas  Korupsi (UU KPK) karena hanya akan melemahkan posisi lembaga antirasuah itu. Kentalnya upaya pelemahan KPK tercermin dari naskah perubahan UU KPK versi Badan Legislasi (Baleg) DPR. “Nahkah revisi dari Baleg DPR masih meneguhkan adanya upaya pelemahan KPK,” ujar Ketua Departemen Hukum RPI, Fathudin di Jakarta, Senin (15/2).

Menurutnya, pasalnya substansi perubahan UU KPK masih berkisar pada empat poin yang justru akan membonsai kewenangan KPK, yakni pembentukan dewan pengawas KPK, penyadapan dan penyitaan dengan izin dewan pengawas, pemberian wewenang bagi KPK untuk dapat menerbitkan SP3, serta pengangkatan penyidik independen.

Alumnus Magister Hukum dari Universitas Indonesia (UI) ini menyebutkan tiga dari empat poin tersebut jelas akan membonsai kewenangan KPK sebagai lembaga extra-ordinary dalam konteks pemberantasan korupsi. Demikian pula, skema pengangkatan penyidik independen. Pasal 45 UU KPK sebenarnya sudah cukup untuk menjadi dasar KPK untuk dapat mengangkat penyidik independen sehingga revisi UU KPK tidaklah perlu dan mendesak.

Fathudin menjelaskan, undang-undang KPK memang bukan untouchable norm. Namun UU KPK juga bukan sekedar black letter yang bebas dari sarat kepentingan, Justru sebaliknya, UU KPK justru kerap dibidik dan dijadikan objek kepentingan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk mendifinisikan kekuasaan dan melanggengkan eksistensinya. “Jangan sampai  penolakan partai politik terhadap revisi undang-undang KPK juga hanya sebatas pencitraan, sebaliknya harus mencerminkan sikap dan komitmen bagi penguatan KPK,” tandasnya.

Ia melihat konstelasi politik di parlemen, dari 10 fraksi sekarang hanya dua fraksi yang secara tegas menolak, yakni fraksi Partai Gerindra dan Demokrat, maka bandul politik penolakan perubahan UU KPK sekarang ada di tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Presiden Jokowi harus komit dengan janjinya dalam mendukung upaya penguatan KPK,” tegas Fathudin yang juga alumnus Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Presiden Jokowi ujarnya, semestinya mengimbau dan mengajak partai-partai pendukung pemerintah untuk menolak perubahan UU KPK. “Jika memang hal tersebut tidak berhasil dan pembahasan antara DPR dan pemerintah terus berlanjut, maka Presiden harus memastikan wakil dari pemerintah, dalam hal ini menteri yang ditunjuk Presiden mewakilinya untuk tidak memberikan persetujuan bersama, sebagaimana Pasal 20 ayat (3) UUD 1945,” tandasnya.

Sementara Direktur Eksekutif RPI, Benny Sabdo menegaskan RPI secara kelembagaan menolak perubahan UU KPK jika substansi perubahannya masih ditengarai memperlemah KPK. “Gerakan perlawanan terhadap koruptor dan perilaku koruptif di republik ini akan terus menjadi konsen RPI sebagai bagian dari tanggung jawab sosial-politik,” tegasnya.

Pengamat Hukum Tata Negara ini mengatakan pembentukan hukum harus memenuhi rasa yang baik dan pantas bagi kehidupan bersama. “Hukum yang baik adalah hukum yang memenuhi keadilan dan kebaikan bersama,” tukasnya. Menurutnya, DPR sebagai refleksi kedaulatan rakyat seharusnya mempertimbangkan rasa keadilan dan kebaikan masyarakat. “Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. Ini cermin mekanisme checks and balances dalam konstitusi kita. Tidak ada cabang kekuasaan yang merasa superior,” tandasnya.

Menurut Benny, skenario perubahan UU KPK ini adalah agenda utamanya delegitimasi KPK. Mengingat selama ini KPK selalu menunjukkan supremasi hukum dalam hal pemberantasan korupsi di cabang kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif.

Berdasarkan catatan RPI, demikian Benny, sejarah delegitimasi lembaga antikorupsi seperti KPK merupakan pola berulang. “Sudah ada tujuh institusi pemberantasan korupsi patah tumbuh hilang berganti di republik ini. Empat di antaranya sengaja dimatikan setelah mencoba agak keras menyeret penguasa dengan delik korupsi,” pungkasnya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Anak Usaha TOWR Tarik Pinjaman Bank BTPN Rp4 Triliun

JAKARTA – Lima anak perusahaan PT Sarana Menara Nusantara Tbk

Kemenperin Bantu Kebut Produksi AMMDes

JAKARTA-Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong percepatan produksi alat mekanis multiguna