”Sell in May and Go Away” di Bulan April?

Thursday 18 Apr 2013, 6 : 25 pm
by
Gundy Cahyadi, Ekonom Bank OCBC

Oleh: Gundy Cahyadi

Dua minggu di bulan April ini telah diwarnai oleh beberapa kejadian yang cukup menarik. Pertama-tama, bank sentral BOJ di Jepang mengejutkan market setelah mereka memutuskan untuk agresif dalam kebijakan quantitative easingnya dalam usahanya untuk mengangkat tingkat inflasi ke 2% di dalam 2 tahun ke depan ini. Kedua, kita juga telah menyaksikan bagaimana laju pertumbuhan ekonomi China terlihat menurun ke 7,7% yoy di Triwulan I kemarin, di bawah level 7,9% yang terlihat di Triwulan IV tahun 2012 lalu. Data ini hanyalah merupakan salah satu dari banyaknya data-data yang bernada negatif mengenai prospek pertumbuhan ekonomi dunia di sepanjang tahun ini.

IMF sendiri juga telah menurunkan estimasi pertumbuhan ekonomi dunianya dari 3,5% ke 3,3% untuk tahun 2013 ini. Yang terakhir, dan yang paling mengejutkan adalah kenyataan bahwa harga emas saat ini diperdagangkan di sekitaran USD 1380/oz, jauh di bawah level USD 1600-an/oz yang masih terlihat di bulan Maret lalu. Jatuhnya harga emas ini sendiri sebenarnya terjadi hanya dalam waktu 4 sesi, dan sempat membuat para investor panik apalagi karena ianya telah menyebabkan aksi sell-off yang juga terjadi di hampi semua komoditas lainnya.

Adanya satu aski risk aversion di market ini sendiri telah membuat banyak pengamat market yang berpendapat bahwa fenomena “sell in May and go away” telah dimulai lebih dahulu di bulan April ini.

Sebenarnya, boleh dibilang kalau 3 kejadian-kejadian ini sendiri sebenarnya masih bersangkutan. Turun drastisnya harga emas dimulai dengan adanya koreksi di harga emas yang disebabkan oleh menguatnya nilai tukar USD di market. Harga emas sempa turun perlahan-lahan dari USD 1600/oz ke USD 1550/oz di awal April setelah USD menguat cukup tajam, terutama terhadap JPY di mana kurs USDJPY sempat mendekati level 100.

Di akhir minggu kemarin, adanya risk aversion berhubungan dengan kekecewaan terhadap laju pertumbuhan China telah membuat adanya aksi panic selling di market yang akhirnya membuat harga emas jatuh drastis ke USD 1380/oz di saat ini.

Mengapa USD bisa menguat tajam terhadap JPY? Mengapa risk aversion tiba-tiba mencuat dan apa sebenarnya prospek pertumbuhan China ke depan? Ini adalah 2 hal yang sangat penting untuk kita pelajari, apalagi kalau kita juga mau mengetahui jika aksi sell-off terhadap emas di akhir minggu lalu merupakan satu hal yang ”overdone”.

Penguatan USD terhadap JPY tidak sulit untuk kita mengerti. Kondisi di AS dan Jepang saat ini boleh dibilang cukup bertolak belakang. Data-data di AS sejak permulaan tahun ini menunjukan adanya recovery yang cukup lumayan di negara itu, apalagi dengan tingkat pengangguran kembali di 7,6% – level terendahnya sejak tahun 2009. Hal ini membuat bank sentral the Fed di AS mulai mempersiapkan untuk mengakhiri kebijakan quantitative easingnya.  

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Banggar DPR Khawatir Kucuran Dana PMN Hanya Untuk Bayar Utang

JAKARTA-Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mengungkapkan kucuran

Konsisten Torehkan Pencapaian Gemilang Bank DKI Raih 2 Penghargaan dari The Iconomics

JAKARTA– Memulai awal tahun dengan berbagai pencapaian, PT Bank DKI