Wapres Minta PSO Dijadikan SLA

Friday 22 Mar 2013, 8 : 32 pm
Wapres Boediono

JAKARTA-Pemerintah berharap agar semua bentuk kerjasama Public Service Obligation (PSO) bisa diterapkan dalam Service Level Aggreement (SLA).

Alasannya, hal ini sebuah terobosan demi kemajuan bisnis antara swasta dan BUMN.

“Saya kira setiap bentuk Public Service Obligation (PSO) bisa dijadikan SLA. Ini adalah suatu eksperimentasi dari sesuatu yang sudah lazim dilakukan di swasta,” kata Wakil Presiden Boediono di Jakarta, Jumat,(22/3).

Lebih jauh kata Boediono, SLA adalah kontrak kerja. Bukan sekedar nota kesepahaman yang tidak didengar keberlanjutannya.

Artinya, sebuah kontrak kerja memiliki hak dan kewajiban masing-masing sehingga sasaran dan targetnya pun jelas.

“Tadi disebutkan SLA ini bisa diterapkan ke yang lain. Ini ide bagus, kita mengharapkan contoh yang bagus juga dari yang pertama ini,” tambahnya.

Oleh karena itu, sambung Guru Besar FE UGM ini, agar koordinasi strategis yang terjadi ini outputnya tiada lain adalah peningkatan pelayanan kepada publik.

Hal ini adalah langkah maju dari kerjasama pemerintah dan BUMN dalam melayani publik yang sebelum ini tidak memiliki skema kerjasama yang jelas.

Wapres menambahkan mereka yang menandatangani SLA ini membentuk suatu forum komunikasi yang sekaligus bisa melakukan sistem monitoring dan melihat apa-apa yang sudah dipenuhi dan yang belum.

“Selanjutnya agar terus diperdalam, SLA ini memiliki implikasi yang tertulis maupun tidak tertulis. Selamat melaksanakan SLA yg pertama antara pemerintah dan BUMN, moga-moga berhasil,” ujarnya.

Sementara Menteri Keuangan Agus Martowardoyo dalam sambutannya mengatakan penerapan SLA antara Pemerintah RI dan PT PLN merupakan pola baru dari pemerintah terhadap penugasan yang diberikan kepada suatu BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

Adanya penugasan pemerintah kepada BUMN untuk melakukan pelayanan publik bukan berarti melepaskan tanggung jawab pemerintah. Pada prinsipnya tanggung jawab pelayanan publik tetap melekat sebagai tanggung jawab pemerintah yang diwakili oleh kementerian dan lembaga.

Tanggungjawab dimaksud bukan hanya tanggung jawab di sisi keuangan atau subsidi, namun termasuk tanggung jawab di sisi teknis dan sektor.

Inti dari SLA adalah transparansi, kata Agus lagi, koordinasi dan semangat untuk bersama-sama (khususnya di level teknis kementerian dan lembaga) mencari solusi terbaik atas isu-isu yang menghalangi suatu BUMN dalam melaksanakan penugasan pelayanan publik.

Dengan SLA, sambungnya, diharapkan beban subsidi atas suatu penugasan kepada BUMN dapat diminimalisir.

Ke depan, PLN diharapkan mampu berdiri sendiri, dan dapat bersaing di tingkat global.

Untuk itu, PLN terus didorong untuk mampu meningkatkan kualitas pelayanannya, memperbaiki efisiensi operasionalnya, dan pada akhirnya akan mengurangi beban subsidi listrik pemerintah.

Seperti diketahui, SLA  ini merupakan kesepakatan (bersama) tertulis mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam proses penyediaan tenaga listrik.

Maksud diadakannya SLA adalah untuk tujuan SLA atau Kesepakatan Bersama ini adalah untuk melakukan koordinasi dalam pelaksanaan fasilitas dan pemberian dukungan agar subsidi listrik yang dikelola oleh PT PLN (Persero) dapat diturunkan dan lebih tepat sasaran.

Tanpa SLA, dalam 4 tahun ke depan subsidi listrik diperkirakan mencapai Rp440 Triliun atau rata-rata Rp110 Triliun per tahun.

Namun, dengan SLA, ditargetkan subsidi listrik dapat turun sampai dengan Rp20 Triliun per tahun.

Melalui SLA, PT PLN berkewajiban menyediakan pasokan listrik dengan standar yang telah ditentukan, serta memastikan bahwa semua rencana pembangunan infrastruktur listrik berjalan tepat waktu.

Di saat yang bersamaan pemerintah berkewajiban tidak hanya memberikan subsidi listrik, tetapi juga menjamin ketersediaan pasokan energi primer bagi proses produksi penyediaan tenaga listrik, serta dukungan-dukungan lainnya seperti pemberian izin baik di sektor lingkungan hidup, perhubungan, pengadaan tanah dll.

Terdapat 12 isu yang diprioritaskan dan diperjanjikan dalam SLA: (1) Kapasitas PLN, (2) Kapasitas IPP, (3) Efisiensi Operasi PLN, (4) Kontingensi Kapasitas, (5) Pasokan Gas, (6) Volatilitas Harga, (7) Energi Terbarukan, (8) Kepastian alokasi anggaran, (9) Paradoks Sistem Cost +, (10) Alokasi Risiko, (11) Return PLN, dan (12) Tarif.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Tingkatkan Ekspor Otomotif, Kemendag Dukung Toyota Ekspor CKD

JAKARTA-Kementerian Perdagangan (Kemendag) tengah giat mendorong perkembangan industri otomotif agar

Capres KIB Bakal Ditentukan Lewat Musyawarah Dengan Kesetaraan

JAKARTA-Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menilai KIB