Wayan: Persidangan Ahok Jadi Arena ‘Penganiayaan’

Saturday 28 Jan 2017, 2 : 58 am
by
I Wayan Sudirta

JAKARTA-Anggota Tim Advokasi Bhineka Tunggal Ika Basuki Tjahaja Purnama (BTP), I Wayan Sudirta menegaskan sejumlah saksi fakta yang dihadirkan pada sidang ketujuh kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak dapat membuktikan kesaksiannya bahwa Gubernur Petahana DKI Jakarta itu benar-benar menistakan Alquran dan Islam seperti yang dituduhkan.

Justru kesaksian mereka mengkonfirmasikan proses persidangan ini menjadi sarana penganiayaan terhadap Ahok.

“Itu pointnya. Jangan sampai terlalu banyak berbicara soal tehnis yang aneh-aneh yang tampil melalui saksi-saksi pelapor itu. Kita tidak boleh terseret pada persoalan tetek bengek itu sehingga lupa akan hakekat kasus ini yang sebenarnya menganiaya Ahok,” ujar Wayan di Jakarta, Jumat (27/1).

Menurut dia, bobot hukum kasus Ahok ini sangat kecil atau sekitar 5% saja.

Sedangkan, 95% kasus Ahok ini bernuansa politik.

Karena itu, para pesaing Ahok terus berupaya menggagalkan langkah putra Belitung ini menjadi orang nomor 1 di DKI Jakarta.

Caranya terang Wayan, proses pencalonannya diganggu dengan menjadikannnya tersangka.

Akibatnya, Ahok tidak bisa berkampanye karena setiap hari Selasa menjalani proses persidangan.

“Bayangkan, dampak dari kasus ini, Ahok kehilangan banyak waktu untuk menyapa langsung warga Jakarta. Terutama pada basis-basis potensi elektoralnya yang tidak bisa disentuh. Ini berapa besar kerugian yang dialami Ahok. Jadi, Ahok teraniaya,” terangnya.

Dalam proses teraniaya ini jelasnnya, secara otomatis,  prinsip-prinsip yang bersifat universial seperti hak asasinya ditindas.

“Jadi, calon gubernur yang lain berkampanye, Ahok kehilangan hak berkampanye karena direkayasa,” tuturnya.

Dia menguraikan, upaya menggagalkan Ahok ini dilakukan secara sistematis.

Terbukti, pelapor kasus Ahok ini serentak dari berbagai wilayah.

Bahkan, isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) hampir sama. Padahal, para pelapor ini tidak melihat kasusnya.

Ketidakpaham saksi pelapor terlihat saat proses persidangan.

Dari semua saksi pelapor, sangat sulit membuktikan kesaksiannya karena mereka tidak berada di tempat kejadian perkara.

“Tetapi, semua menyimpulkan seolah-olah Ahok menghina Alquran dan Islam. Namun ketika digali lebih dalam, mereka kesulitan menjawabnya,” imbuhnya.

Padahal seorang saksi itu harus memberikan kesaksian berdasarkan pengetahuannya, apa yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri.

Tetapi hingga sidang yang ketujuh, para saksi pelapor tidak bisa membuktikan kesaksiannya bahwa Ahok melakukan penistaan seperti yang dituduhkan.

Meski persidangan Ahok ini diwarnai tekanan masa yang begitu kuat, pengacara senior ini percaya majelis hakim yang menyidangkan kasus ini tidak akan tunduk pada tekanan masa.

Sebab, kredibilitas penegak hukum akan menjadi taruhannya.

Karena itu, majelis harus membuktikan diri bahwa mereka tidak berpihak dan hanya bekerja demi tegaknya keadilan.

“Kalau keadilan yang ditegakan, tanpa mendahului putusan hakim, saya optimis keadilan itu akan terbukti dengan sendirinya,” imbuhnya.

Untuk itu, publik wajib mengawal kasus ini agar tekanan masa tidak masuk sampai ke ruang pengadilan yang bisa saja mengganggu independensi hakim.

“Ini kewajiban kita sebagai anak bangsa. Sebab, tekanan masa terhadap proses peradilan Ahok ini akan terus terjadi. Ini salah satu contoh, bangsa kita sedang dicoba. Pengadilan kita sedang dicoba,” ujarnya.

Selain persoalan Ahok, tambahnya tekanan terberat saat ini terletak pada eksistensi lembaga peradilan itu sendiri.

Karena seberat apapun masalah politik dan ekonomi, jika peradilannya masih tegak maka bangsa ini masih punya harapan untuk bangkit dan berjaya.

Tetapi jika peradilan diruntuhkan melalui tekanan masa bangsa ini akan luluh berantakan.

“Saya percaya, dunia peradilan kita masih tegak lurus sehingga masih punya harapan. Dipundak hakim inilah, harapan masa depan Indonesia dipertaruhkan,” urainya.

Lebih lanjut dia berharap agar para pendukung Ahok tidak perlu melakukan presure terhadap jalannya proses peradilan ini.

Namun, publik harus berada dibelakang pengadilan agar proses peradilan berjalan fair dan independen.

“Jadi, yang perlu kita kawal bersama adalah memastikan proses peradilan itu berjalan sesuai koridor hukum,” pintanya.

Apalagi, negara berdasarkan hukum ini salah satu cita-cita bangsa.

“UUD mengatakan negara kita negara hukum dan bukan negara kekuasaan, bukan pula negara otot. Kalau proses peradilan mengandalkan otot, menekan penegak hukum, bangsa ini mau jadi apa? Untuk apa bernegara kalau mengedepankan tekanan masa,” pungkasnya dengan nada tanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

EWI Inisiasi Kumpulkan Dana Publik Beli Saham Freeport

JAKARTA-Energy Watch Indonesia (EWI) akan menginisiasi pengumpulan dana publik untuk

Masyarakat Harus Terlibat Aktif Awasi Dana Desa

YOGYAKARTA – Pengawasan pengelolaan dana desa harus menjadi tanggung jawab