JAKARTA-Sistem penghitungan kursi untuk Pemilu Legislatif 2019 menggunakan metode Sainte Lague murni. Adapun metode hitungnya dengan bilangan pembagi 1; 3; 5; 7…dan seterusnya.
“Banyak teman-teman caleg belum begitu faham soal metode ini. Pemahamannya masih menggunakan Pemilu 2014,” kata Mantan Ketua Komisi II DPR Ferry Mursidan Baldan dalam diskusi Empat Pilar MPR RI “Menuju Pemilu Berkualitas dan Berintegritas” bersama anggota DPR F-PDIP Effendi MS Simbolon dan Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno di Jakarta, Jumat (22/2/2019).
Mantan Menteri ATR/BPN ini menambahkan cara penghitungan suara tidak lagi berdasarkan bilangan pembagi pemilih (BPP).
“Jadi menurut saya, ini memang agak lain. Saya kira harus diberitahukan teman-teman. Sehingga calegpun menjadi paham. Karena ini berpotensi dalam konteks penghitungan suaranya,” terangnya.
Lebih jauh mantan kader Nasdem Ferry Mursyidan menekankan pentingnya pemilu itu berlangsung secara fair, adil, dan demokratis, agar menghasilkan pemilu yang berkualitas, tidak menghalalkan segala cara, dan tidak mencederai demokrasi.
“Karena pemilu itu simbol peradaban bangsa dan akan berdampak pada kehidupan negara ke depan, maka pemilu harus jujur, fair dan adil itu dijaga bersama. Jangan sampai ada kecurangan. Kalau curang bisa menurunkan citra Indonesia di mata dunia,” kata mantan Menteri Agraria itu.
Ferry mengakui pemilu kali ini sebagai konsekuensi dari pemilu serentak yang disepakati DPR sendiri.
“Yang terpenting semua harus mengawal proses penghitungan. Soal chaos atau tidak, kadang orang yang kuat di dapil tapi kalah di pemilu juga bisa ngamuk,” ungkapnya.
Sementara itu, Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno menegaskan perlunya penghitungan suara Pilleg lebih dahulu ketimbang Pilpres 2019.
“Dengan menghitung pileg, maka eforia capres bisa dilakukan pasca Pilleg. Sehingga tak ada kekhawatiran suara pileg diabaikan petugas di TPS,” katanya.
Lebih jauh Adi mengkhawatirkan jika penghitungan suara capres diprioritaskan. Karena berpotensi terjadi kecurangan pada Pilleg. “Kita tahu, bagaimana caleg-caleg ini menjelang hari H, menebar logistik,” terangnya.
Sementara itu, anggota MPR RI Effendi MS. Simbolon mengusulkan penghitungan suara pemilu didahulukan suara pileg dibanding pilpres. Khawatir terjadi chaos, rusuh oleh kelompok yang kalah, sehingga petugas di TPS akan meninggalkan TPS.
“Apakah KPU sudah mengantisipasi kalau penghitungan suara pilpres dulu, dan pihak yang kalah akan membuat kerusuhan atau chaos? Apalagi ada yang menyebut pilpres ini jihad, apa tidak menakutkan itu?” paparnya
Effendi meminta KPU mengantisipasi suasana pasca penghitungan suara pilpres tersebut. Sebab, kalau sudah ada yang menang dan chaos, petugas di TPS bisa meninggalkan TPS, sehingga suara caleg tak lagi dihitung.
“Kalau demikian, maka akan terjadi kekosongan konstitusional dimana seluruh kursi DPR, DPD, DPRD I dan DPRD II itu akan kosong. Karenanya, saya mengusulkan penghitungan suara pileg dulu dibanding pilpres,” ujarnya.
Sementara itu terkait debat capres dia meminta tak dibiayai dengan iklan di TV swasta. “Kalau hanya Rp 2 miliar per debat, lima kali debat berarti Rp 10 miliar. Masak negara tak mampu? Sehingga setiap break, istirahat tak selalu diselingi dengan iklan,” kata anggota Komisi I DPR itu. ***