Benny Sabdo: DPR ‘Centeng’ Kapitalisme Global

Saturday 26 Dec 2015, 3 : 01 am
by
Benny Sabdo
Direktur Eksekutif Respublica Political Institute (RPI) Benny Sabdo

JAKARTA-Direktur Eksekutif Respublica Political Institute (RPI), Benny Sabdo mengeritik keras prilaku elit politik di Indonesia, terutama DPR yang tidak lagi mengabdi kepada kepentingan rakyat.

Para wakil rakyat ini justru memilih menjadi pelindung para saudagar global ketimbang menjadi jembatan penghubung bagi kepentingan warga negaranya.

“DPR centeng yang didukung kapitalisme global. Wakil rakyat kita ini cenderung melayani aktor-aktor global, seperti pejabat International Monetary Fund (IMF), World Bank, World Trade Organization (WTO), atau pun CEO dari perusahaan multinasional dan lupa melayani konstituen,” ucap Benny di Jakarta, Sabtu (26/12).

Menurut Benny, keberpihakan elit terhadap agenda kapitalisme tidak hanya berpotensi melemahkan demokrasi, tetapi justru mematikan demokrasi yang kini mulai tumbuh di Indonesia.

Untuk itu, rakyat Indonesia harus mewaspadai manuver elit politik yang ingin memasukan agenda terselebubung kapitalisme dalam setiap produk legislasi nasional.

Bahkan katanya, salah satu bukti pengkhianatan elit politik terhadap kedaulatan rakyat itu tercermin dari skandal kasus “papa minta saham”.

Skandal ini membuat wibawa kelembagaan DPR berada pada titik nadir.

“Mereka ini lebih sering memiliki tuntutan yang berbeda, bahkan bertentangan, dengan tuntutan rakyat. Kalau anggota DPR berpihak kepada rakyat, ia akan mengecewakan aktor global. Demikian sebaliknya,” jelas Benny.

Dia menjelaskan, kinerja DPR pasca Reformasi yang lebih mementingkan korporasi global daripada kepentingan konstituen, menyebabkan sumber daya alam nasional terkuras habis.

Bahkan rakyat harus menanggung hutang dari IMF, World Bank, dan Badan Internasional yang kredibel, serta hutang najis (odious debt) yang berasal dari hutang konglomerat hitam (hutang privat) yang dijadikan hutang publik.

Karena itu, Benny mengusulkan agar dalam revisi Undang-Undang tentang Pemilu diwacanakan adanya utusan golongan.

“Utusan golongan ini terdiri dari akademikus, cendekiawan, dan tokoh masyarakat, bukan dari TNI & Polri seperti Orde Baru,” katanya.

Menurut Benny, kehadiran para akademikus dan tokoh masyarakat di DPR supaya dapat mencerahkan akal miring di DPR yang bercokol selama ini.

Hal ini penting agar jangan sampai terjadi semua kursi di DPR “dijual” bebas seperti saat ini.

“Akibatnya bisa gawat, jika diisi oleh para perampok,” gugatnya.

Artinya jelas Benny, harus ada jatah kursi bagi cendekiawan dan tokoh masyarakat.

Sebab mereka tidak bisa bersaing merebut suara dengan para selebritas dalam pemilu.

“Mereka akan dengan mudah dikalahkan oleh seorang Nikita Mirzani atau Ayu Ting-Ting dalam pemilu, meski berkualitas,” jelasnya.

Benny mengaku, tidak ada salahnya jika UU memuat pasal yang mengatur tentang utusan golongan.

Ia memaparkan Tokoh Orde Reformasi tidak memahami bahwa sistem pemerintahan campuran (mixed system) tanpa Trias Politika yang disusun oleh Pendiri Negara (the Founding Fathers and Mothers) berdasar asas demokrasi, tetapi berbeda dengan sistem presidensial Amerika Serikat yang menggunakan Trias Politika dan juga berbeda dengan sistem parlementer Inggris (Cabinet Government) yang tanpa Trias Politika.

Benny menandaskan Tokoh Orde Reformasi juga memiliki persepsi keliru mengenai sistem pemerintahan susunan Pendiri Negara. Para Pendiri Negara menghendaki sistem pemerintahan sendiri.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Refleksi 2018, Forhati Kritisi Berbagi Kebijakan Pemerintah

JAKARTA-Majelis Nasional Forum Alumni HMI-wati (FORHATI) menilai dinamika kehidupan masyarakat

PUPR Terus Tingkatkan Kualitas Jalan Jayapura-Wamena

JAKARTA-Pembangunan jalan Trans Papua terus dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum