Dagang Agama

Tuesday 14 Mar 2017, 12 : 41 am
by
photo ilustrasi

Oleh: Joanis Christo Tara OFM

Hakikat agama adalah keselamatan. Tanggung jawab agama-agama adalah membantu dan mengantar semua pengikutnya berjumpa dengan Allah. Kekudusan, kesucian, damai sejahtera, antara lain nilai yang mesti diajar dan dianjurkan kepada semua umat. Karena itu, haram hakikatnya bagi semua agama untuk mengajar dan menganjurkan hal-hal yang bertentangan dengan hakikat agama-agama.

Itu tidak berarti agama-agama mesti dijauhkan dari hiruk pikuk dunia yang sering kali identik dengan dosa dan kejahatan. Agama-agama memang tempatnya di dunia, menjadi bagian dari dunia, terlibat dalam duka dan derita, kecemasan dan kekuatiran, kebahagiaan dan kegembiraan, seluruh dinamika dunia.

Agama-agama tidak pernah menjadi menara gading di tengah dunia. Atau membangun imperium sendiri, menutup pintu dan jendela dari keributan dunia.

Demikianlah agama-agama itu selalu berdimensi politis. Dia selalu berhubungan dengan dunia; terlibat dalam urusan-urusan publik, tercebur dalam duka dan kecemasan dunia; berpeluh dan berkeringat; berjerih payah dan berjuang bersama pria dan wanita untuk sebuah kehidupan yang layak; demi kebaikan dan kesejahteraan bersama.

Kendati demikian, agama-agama sering kali terlalu jauh tercebur dalam dunia, terlibat dalam dosa. Agama-agama dapat menjadi sumber dan  menghasilkan kejahatan demi kejahatan. Dia  bersekutu dengan kemungkaran, bersatu dengan kegelapan. Agama-agama  dapat tenggelam dalam masa-masa suram dan gelap berkepanjangan.

Agama-agama kerap kali diperjualbelikan. Ajaran-ajarannya didagang untuk keuntungan ekonomi. Ayat-ayat Kitab Sucinya dijual untuk kepentingan politik kelompok tertentu. Nama Allah diteriakkan di tempat-tempat  ibadah untuk mendukung sekaligus menolak orang-orang tertentu. Ancaman dan teror politik menganatasnamakan agama bertebaran di setiap tempat kudus. Demi keuntungan ekonomi orang lupa hakikat agama; untuk kepentingan kekuasaan orang tidak lagi takut akan Allah. Demikianlah agama-agama diperdagangkan dan dipolitisasi.

Pilgub DKI Jakarta adalah contoh nyata agama-agama diperdagangkan dan dipolitisasi. Di satu pihak, ada orang-orang , dengan otoritas yang dimiliki, memperdagangkan ajaran agama, menjual ayat-ayat Kitab Suci. Mereka memanen rupiah, menegak keuntungan ekonomi. Sebab tidak ada makan siang gratis.

Di lain pihak, ada politisi yang menunggang agama demi nafsu kuasa. Mempropoganda agama untuk memanen suara, memperdagangkan ajaran untuk mendulang dukungan, menjual ayat untuk menghimpun massa. Dia tidak malu-malu menjual SARA di atas tanah kebhinekaan. Politik sektarian paling vulgar yang pernah ada di negeri ini.

Agama dipolitisasi demi ambisi kekuasaan, orang mati pun dibawa-bawa, sangat mengerikan. Ada ketidakwarasan yang sedang dipertontonkan manusia-manusia bergama, tapi sesungguhnya tidak beriman.

Kembalikan agama pada hakikatnya. Biarkan agama membawa pembebasan bagi pemeluknya. Kembalikan tempat Ibadah pada kesuciannya, dan biarkan org mati bebas menghadap Tuhannya. Sebab keselamatan adalah milik semua org dan surga tidak ditentukan pilihan politik. Beragamalah dengan sadar dan berimanlah dengan akal sehat.

 

Penulis adalah Rohaniwàn Tinggal di Atambua

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Ekonomi Digital Indonesia Diproyeksi Capai Rp4.531 Triliun di 2030

JAKARTA-Ekonomi digital Indonesia diproyeksi mencapai Rp4.531 triliun atau tumbuh hingga

Ganjar: Pengurus Ranting Ujung Tombak Pemenangan

JAKARTA-Bakal Calon Presiden (Capres) 2024 yang diusung PDI Perjuangan (PDIP)