BOGOR-Pemerintah menyediakan anggaran sekitar Rp6 miliar pada 2014 untuk pengembangan produktifitas bibit sapi. Nantinya, bibit-bibit sapi ini akan mendapatkan sertifikat dan selanjutnya dilakukan langkah penggemukan. “Sudah ada anggarannya Rp 6 miliar/pulau di tahun 2014, jadi hasilnya bibit sapi yang dihasilkan akan bersertifikat,” kata Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Syukur Iwantoro di Bogor, Rabu (18/9).
Menurut Syukur, dengan bibit sapi yang berkualitas dan lebih baik ini, tentu akan mendorong para pengusaha ternak menjadi bersemangat. “Harganya jauh lebih mahal. Kalau di Australia itu harganya antara Rp 40-50 juta/ekor, sapi perah bisa Rp 90 juta/ekor. Jadi akan menggairahkan untuk peternakan,” tambahnya
Lebih lanjut kata Syukur, keturunan sapi yang dihasilkan juga aka memiliki kualitas tinggi. Ditambah lagi dengan pertumbuhan bobot per harinya itu jauh lebih tinggi bila dibandingkan sapi saat ini. “Selisihnya 0,4-0,6 kg/hari. Dengan pakan yang baik bisa 0,9-1,2 kg/hari. Turunannya juga waktu bereproduksi jauh lebih lama bisa 8-9 kali dan setiap tahun pasti beranak. Kesehatan sapi juga meningkat,” ujarnya.
Saat ini pemerintah, lanjut Syukur, sedang menata pengembangan sapi di tiga pulau untuk jenis sapi yang berbeda. “Pulau Raya untuk sapi Aceh, Pulau Nusaprinda untuk sapi Bali, dan Pulau Sapudi sapi Madura,” jelasnya
Ketiga jenis sapi lokal tersebut nantinya akan dilakukan pemurnian. Pemurnian dilakukan dengan mengkawinkan sapi sejenis di tempat yang sama. Kawin silang sapi dinilai kurang efektif bahkan mengurangi berat bobot sapi. “Jadi saat ini sapi bali banyak yang kawin silang dan bobotnya menurun terus. Sama halnya dengan sapi aceh. Ini perlu dimurnikan agar bobotnya tidak kalah dengan sapi di luar negeri. Oleh karena itu kita perlu pemurnian sapi di pulau itu. Jadi nanti ada proyek keroyokan baik itu LIPI dan Kementan. Pendekatan dengan menggunakan teknologi dan rekayasa teknologi,” imbuhnya.
Dikatakan Syukur, Indonesia sampai saat ini masih ketergantungan impor sapi hidup dan daging dari Australia dan Selandia Baru. Tetapi justru untuk produk semen beku atau embrio sperma sapi Indonesia bisa berswasembada. “Di tahun 2012 kita punya 5,2 juta straw (semen beku) sapi sedangkan kebutuhan di dalam negeri hanya 3,2 juta straw,” imbuhnya
Syukur menambahkan dari stok dosis yang tidak digunakan di ekspor ke berbagai negara. Harga setiap dosis (straw) harganya Rp 200.000. “Kita akan ekspor juga ke Afganistan, Timur Tengah dan Timur Leste di bulan Oktober ini selain tentunya kita juga rambah ke Malaysia dan Brunei. Harganya Rp 200.000/dosis,” tandasnya
Menurut Syukur, agar tingkat kehamilan lebih cepat, maka diperlukan 3 kali suntikan dosis ke sapi betina. Penjualan ekspor semen beku ke luar negeri dinilainya menjadi salah satu penyumbang devisa negara walaupun dengan jumlah yang tidak terlalu signifikan. “3 kali suntikan dosis ke sapi betina, maka sapi itu akan hamil. Karena di ekspor, tentu akan menjadi tambahan devisa negara selain tentunya menghemat,” pungkasnya. **can