Demi Setoran, OJK Tutup Mata Kasus Jiwasraya

Monday 8 Jun 2020, 5 : 39 pm
by
Ilustrasi

JAKARTA-Pengamat Ekonomi Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng mengatakan kasus Jiwasraya akan menjadi bom waktu bagi sektor keuangan Indonesia jika tidak dituntaskan.

Bahkan persoakan Jiwasraya ini menjadi trigger skandal keuangan yang akan muncul di masa yang akan datang.

Menurut Daeng, kasus Asuransi Jiwasraya ini bukan kasus pertama persoalan keuangan di Indonesia.

Sebelumnya, telah muncul kasus skandal keuangan yang merugikan nasabah. Namun sayangnya, OJK seakan tutup mata.

“Banyak sekali kasus dibawah OJK saat ini. Belum kita bicara investasi yang tidak jelas, ada ratusan kasus. Ditambah lagi kasus skandal keuangan yang merugikan banyak orang seperti kasus First Travel, Koperasi Pendawa Depok, kasus PT Minna Padi Asset Management (MPAM) dll,” jelasnya.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, lembaga superbody ini melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, Pasar Modal, dan Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Saat ini, pengawasan pasar modal berada dibawah Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota.

Adapun Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal dijabat oleh Hoesen yang sebelumnya memimpin PT Danareksa sebagai direktur selama dua tahun terakhir.

Menurutnya, banyaknya kasus skandal keuangan ini menunjukan lemahnya kemampuan OJK melakukan pengawasn di sector keuangan, baik bank maupun non bank, asuransi dan pasar modal.

“OJK ternyata nggak punya kemampuan menjalankan amanah UU,” ucapnya.

Daeng mencurigai, oknum pejabat di OJK menjadi bagian dari skandal Jiwasraya ini.

Hal ini berkaitan dengan setoran atau iuran yang dipungut OJK dari sektor jasa keuangan.

Menurut pasal 34 ayat 2 UU 21 Tahun 2011 tentang OJK disebutkan bahwa Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.

“Yang bisa setoran besar sangat diperlukan oleh OJK. Karena ini menyangkut keberlangsungan hidup dan dana operasional OJK,” ujarnya.

Padahal jelasnya, memungut iuran dari lembaga yang diawasi berpontesi melahirkan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power).

“Bayangkan, OJK memungut biaya dari lembaga yang diawasi. Kan pasti terjadi abuse power. Dan terlihat sekarang ini,” ulasnya.

“Yang kira-kira akan menganggu keuangan OJK atau setoran terganggu pasti tidak diawasi secara maksimal. Jadi, mirip lembaga pemeras juga kelihatannya,” sindirnya.

Dia melihat, fungsi pengawasan OJK tidak akan maksimal jika polanya masih memungut iuran. Karena lembaga pengawasan itu tidak akan netral.

“Kalau orang yang kita awasi yang kasih duit kita, pasti pengawasannya tidak akan maksimal. Saya nggak paham juga pengelolaan Negara ini,” pungkasnya

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Pejabat Eksekutif Harus “Putus” Dari Parpol

JAKARTA-Ketidakjelasan alias tumpang-tindih tugas presiden sebagai kepala negara dan partai

Ganjar-Mahfud Tawarkan 5 Cara Ini untuk Berantas Korupsi di Indonesia

JAKARTA – Pasangan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden