Demokrasi dan Korupsi Politik

Friday 18 Mar 2016, 9 : 35 pm
by
Benny Sabdo

Oleh: Benny Sabdo

DEMOKRASI hari ini telah mencapai titik yang tidak mungkin kembali.

Indonesia memilih jalan demokrasi sebagai pilihan sadar untuk mewujudkan pemerintahan dari, oleh, dan untuk mencapai kehendak rakyat.

Demokrasi tidak hanya diukur dari keberadaan institusi formal yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas nama rakyat.

Namun, demokrasi memiliki makna yang jauh lebih dalam sebagai jembatan emas untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Demokrasi selalu memiliki sisi gelap.

Berbagai studi empiris tentang demokrasi memperingatkan sisi gelap demokrasi itu ditandai dengan hadirnya fenomena korupsi politik di mana kekuasaan formal yang diperoleh melalui prosedural demokratis dimanfaatkan dan didayagunakan untuk melakukan aksi perburuan rente terhadap sumber dana negara dan dimanfaatkan untuk memperdagangkan otoritas dan pengaruh politik.

Studi yang dilakukan oleh John Girling tahun 1997, Kang tahun 2002, dan Michael Johnston tahun 2005 merefleksikan bagaimana fenomena political corruption, legalise corruption, atau lebih spesifik lagi political party corruption justru masih mendapatkan peluang dalam sistem dan institusi demokrasi yang sedang berkembang.

Singkatnya, ketiga studi itu menyakini korupsi politik bukan semata-mata persoalan moral individual, melainkan problem yang melekat dalam struktur peluang politik yang tersedia.

Sehingga, dalam banyak hal kehadiran struktur peluang itulah yang justru menyebabkan korupsi menjadi fungsional.

Korupsi politik sebagai proksi untuk menduduki posisi strategis di DPR, seperti badan anggaran, pimpinan komisi, dan alat kelengkapan lainnya.

Mereka yang diberi kepercayaan itu memiliki tanggungan untuk menghidupi partai dan membiayai pelbagai aktivitas partai seperti yang diminta oleh elit partai yang menugaskannya.

Hal inilah selanjutnya memunculkan fenomena perburuan rente melalui upaya pemanfaatan kewenangan formal yang dimiliki sebagai anggota DPR baik kuasa legislasi, kuasa penganggaran, kuasa pengawasan, maupun kuasa dalam rekrutmen pejabat publik.

Fungsi anggaran DPR telah dimanfaatkan sebagai lahan “bancakan” bagi para anggota DPR tertentu.

Karena itu, Kenneth A. Smith and Rita H. Cheng berpendapat kondisi tersebut diperlukan reformasi anggaran sebab sumber-sumber keuangan (APBN) kerapkali dialokasikan untuk program-program yang “sesat” melalui upaya pencarian keuntungan, termasuk keuntungan partai politik tertentu.

Proses penentuan anggaran APBN di Indonesia bertitik berat kepada lembaga legislatif.

Bahkan, anggaran yang sudah dirancang oleh eksekutif dapat diberikan tanda bintang meskipun telah melewati tahapan-tahapan yang membuka ruang kesepakatan antara eksekutif dan legislatif.

Sebagai lembaga negara, DPR kerap dipersepsikan sebagai institusi yang paling korup di Indonesia (Global Corruption Barometer).

Persepsi itulah yang seharusnya diubah anggota DPR melalui peningkatan kinerja baik secara personal maupun kelembagaan. Barangkali kita perlu melihat kembali tesis Mancur Olson, salah seorang kritikus demokrasi.

Tesisnya mulai dari menjawab pertanyaan, mengapa setelah pemerintahan yang buruk, kemakmuran tidak kunjung datang?

Ia menunjukkan pada fakta adanya apa yang disebut roving bandits dan stationary bandits. Mereka sama-sama jahat, meski memiliki perbedaan.

Bila tesis Olson itu benar, sejatinya demokrasi memiliki tantangan serius bagi negara yang baru keluar dari kediktatoran.

Ia mencontohkan Uni Soviet. Begitu negara itu keluar dari kediktatoran dan menganut sistem demokrasi, keadaannya malah menuju pada kekacauan.

Meski memproklamasikan demokrasi, bukan demokrasi yang bertakhta di sana, melainkan para bandit.

Ini berkaitan erat dengan sistem demokrasi yang mengizinkan pergantian pemimpin maupun legislator (anggota DPR).

Karena tahu mereka akan dijatuhkan dalam pemilu, pemimpin dan legislator yang dipilih secara demokratis berkelakuan seperti roving bandits.

Mumpung masih berkuasa, menguras kekayaan negara sampai habis, tanpa menyisakan!

Penulis adalah Peneliti Respublica Political Institute yang juga Pemikir Hukum Tata Negara

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

SUPR dan Iforte Beri Pinjaman Rp574 Miliar ke Protelindo

JAKARTA-Guna dapat mendukung pemenuhan kebutuhan induk usahanya, PT Solusi Tunas

Keberlangsungan Program JKN Harus Dijaga

JAKARTA- Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Mardiasmo menegaskan, Jaminan Kesehatan Nasional