JAKARTA-Terbunuhnya sekitar 7 personel TNI di Papua menandakan pemerintah harus serius menyelesaikan masalah Papua dengan cara membuka dialog. Karena penyelesaian melalui kekerasan tak bisa menuntasla masalah. “Hanya dengan dialog penyelesaian di Papua,” kata Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam dalam diskusi kenegaraan “Kekerasan Di Papua” bersama anggota DPD RI asal Provinsi Papua, Wahidin Ismail dan Wakil Ketua DPRD Papua Barat, Jimmy Demianus Ijie di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Senin (4/3).
Menurut Asvi, setidaknya melalui langkah Dialog diyakini mampu mengurangi tingkat kekerasan di Papua. Namun demikian, dialog tersebut dilangsungkan dengan dasar saling percaya dan semangat rekonsiliasi dalam kerangka Negara Kesatua Republik Indonesia (NKRI). “Kalaupun tidak berhasil setidaknya akan kurangi kekerasan di Papua. Dialogpun harus didasari saling percaya dan rekonsiliasi,” tambahnya
Lebih lanjut kata Asvi, tanah Papua bukanlah sesuatu yang asing dan terpinggirkan dari Indonesia. Karena di tanah Papualah merupakan benih persemaian nasionalisme Indonesia. “Hatta dan Sahrir penah dibuang ke Boven Dogoel, banyak pemuda Papua terpengaruh nasonalisme dan kemerdekaan. Bahkan menjadi ikut berjuang melawan Belanda,” paparnya.
Sementara itu, , Jimmy Demianus Ijie mengatakan Presiden SBY pernah berjanji akan melakukan pendekatan dengan hati terhadap Papua. Namun bukti yang terjadi di lapangan adalah pelaksanaan penyelesaian Papua itu malah sangat hati-hati, dan dialog itu belum pernah terjadi. “Jadi, yang dibutuhkan itu ketegasan sikap dan tindakan,” ungkapnya.
Terkait dana otonomi khusus (Otsus), kata Jimmy, dengan dana Rp 4 triliun untuk wilayah Papua Barat dan Rp 7 triliun untuk Papua, mestinya sudah lebih dari cukup. “Kalau benar untuk membangun Papua, dana itu sudah sangat cukup. Tapi, kanapa tidak sejahtera, karena kegagalan itu bukan saja karena Pemda Papua, tapi juga Jakarta,” tambah Jimmy.
Diakui Jimmy, memang ada pejabat Papua yang memperkaya diri dari dana Otsus tersebut. Namun tak hanya itu, ada sebagian yang memang sengaja memelihara konflik di Papua. Bahkan menjadikan Papua sebagai eksperimen politik. “Selama 32 tahun dikendalikan orde baru, hingga reformasi dan pemberian dana Otsus tetap saja terjadi penembakan. Jadi wajar, ada yang mencurigai ‘memelihara konflik itu demi uang’,” katanya.
Sedangkan anggota DPD RI asal Papua, Wahidin Ismail mempertanyakan kesempatan yang telah diberikan bagi warga Papua untuk memimpin dirinya sendiri. Sejak pemberlakuan otonomi khusus, semua jabatan pemimpin di wilayah tersebut dijabat oleh putera daerah asli.
Namun, justeru di tangan para putera daerah Papua itu pula sejumlah kasus korupsi terjadi di sana dan pelakunya adalah orang Papua sendiri. “Sangat mengiris hati bagaimana otsus digulirkan, tokoh lokal diberi kesempatan memimpimpin SKPD tapi eskalasinya cukup tinggi di sana. Namun temuan BPK menyebutkan bahwa banyak penyimpangan kewenangan di Papua,” tegas Wahidin. **can