Dion Pongkor: Ucapan Ahok Tak Mengandung Isi Pasal 156a KUHP

Wednesday 21 Dec 2016, 7 : 24 pm
by
Pengacara Dion Pongkor

JAKARTA-Praktisi Hukum, Dion Pongkor menilai  tidak ada unsur penghinaan formil dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama saat berbicara dihadapan masyarakat Kepulauan Seribu.

Jika versi asli rekaman ini dilihat secara utuh keseluruhan dan tidak parsial maka konteks pembicaraan Ahok lebih pada pelaksanaan Program Bagi Hasil Budi Daya Ikan Kerapu dan bukan persoalan relasi memilih Ahok dengan pemaknaan Surat Al-Maidah Ayat 51. 

“Apabila dihubungkan dengan versi asli rekaman video Ahok di Kepulauan Seribu, khususnya keseluruhan kalimat pada menit ke-24, basis niat nya adalah relasi Program Bagi Hasil Budi Daya Ikan Kerapu Antara Pemprov DKI (modal dari Pemprov) dengan Nelayan di Kepulauan Seribu,” ujar Dion di Jakarta, Kamis (21/12).

Menurut Dion, unsur penghinaan formil dalam kasus tidak ada.

Karenanya, unsur pasal penghinaan baru terpenuhi apabila penyampaian kalimatnya hanya semata-mata untuk tujuan pemilihan Ahok sebagai gubernur, sehinggga penyampaian kalimat yang dianggap menista itu merupakan sarana dari perbuatan yang disangkakan.

“Pasal 156a KUHP adalah delik formal yang memerlukan pembuktian atas perbuatan yang sifatnya adalah pidana, dan tidak membutuhkan adanya akibat dari perbuatan. Dengan demikian, unsur “sengaja” dalam pasal ini haruslah merupakan “kesengajaan sebagai sebuah kepastian” dan tahap perbuatan pidananya adalah “perbuatan pelaksanaan’,” terangnya.

Dia menegaskan, perbuatan pelaksanaan dalam konteks kasus ini semestinya adalah pernyataan Ahok pada menit ke-24 kepada masyarakat Kepulauan Seribu.

Apabila menyimak ucapan Ahok pada menit ke-24 tersebut jelas tidak memiliki relasi yang sangat kuat dengan perbuatan pidana dalam kasus ini yaitu semata-mata untuk menodai Al-Quran karena konteksnya adalah sosialisasi program budidaya ikan kerapu. 

“Kalimat Ahok pada isi Versi Rekaman Asli pada menit ke -24 secara utuh, tidak parsial dan secara kesatuan, tidaklah dapat diartikan sebagai Penghinaan Formil yang mengandung di dalamnya suatu Hatred, Ridicule dan Contempt sebagaimana isi Pasal 156a KUHP,” terangnya

Apalagi, dalam versi rekaman berupa bukti surat yang beredar di media elektronik (youtube), ternyata berlainan dengan versi rekaman asli.

Karena telah dipotong-potong sehingga mengakibatkan isi rekaman versi media elektronik menjadi bukan  pada Program Bagi Hasil Budi Daya Ikan Kerapu antara Pemprov DKI dengan Nelayan sesuai versi asli keseluruhan Pidato Ahok pada menit ke-24 tersebut.

“Tetapi seolah-olah ada relasi kuat antara Surat Al Maidah 51 dengan pemilihan Ahok sebagai calon gubenur,” ujar Dion yang juga Alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Dengan demikian terangnya, perbedaan tersebut jelas menimbulkan dampak hukum yang berbeda pula karena yang harus dibuktikan dalam sebuah unsur perbuatan pidana adalah konteks keseluruhan kalimat, apakah memenuhi unsur-unsur dalam pasal 156a.

“Apabila dikaitkan dengan ilmu bahasa, pemahaman antara ilmu Pidana dengan ilmu bahasa dalam mengartikan sebuah kalimat pada umumnya adalah sama, yang membedakan adalah dalam Hukum Pidana terkait pembuktian delik-delik tersebut, penghinaan diartikan sebagai Penghinaan Formil yaitu perbuatan yang ucapannya kasar yang mengandung di dalamnya (hatred, ridicule dan contempt),” ulasnya. 

Selain itu,pemaknaan “Penghinaan” (penodaan/penistaan) tidak bisa diartikan secara parsial/terputus-putus/tidak utuh, tetapi harus dilihat/dimaknai secara keseluruhan,” tuturnya.

Seperti diketahui, penistaan terhadap agama diatur pada Pasal 156a KUHP, sebagai perluasan dari Pasal 156 KUHP, yang mengatur penghinaan pada golongan. Pasal 156a KUHP ini diatur dengan landasan hukumnya berdasarkan Perpres No. 1 Tahun 1965 yang mana Pasal 4 ini dikeluarkan menjadi Pasal 156a KUHP.

Pasal 156a KUHP ini bukan ketentuan yang mengatur perlindungan terhadap agama, tetapi ketentuan ini mengatur tentang melindungi rasa kenyamanan masyarakat, khususnya umat beragama, karena itu Pasal 156a KUHP berada pada bab yang mengatur Ketertiban Umum dan dalam KUHP tidak pernah diatur khusus bab tentang Delik Agama.

Unsur pasal 156a KUHP adalah:

1) barang siapa
2) dengan sengaja
3) di muka umum
4) a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan
b. penyalahgunaan
c. atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia
d.dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ke Tuhanan Yang Maha Esa

Mengenai fatwa MUI terang Dion, dari sisi Hukum Pidana, khususnya pendekatan Doktrin maupun Yurisprudensi Pidana, suatu Fatwa tidak mengikat sebagai kekuatan hukum (Peradilan Pidana). 

Artinya Komunitas Sistem Peradilan Pidana dapat menggunakan atau tidak menggunakan fatwa terhadap orang yang diduga melakukan penodaan terhadap agama sesuai pasal 156a KUHP.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Dorong Dukungan Kepada UMKM, hibank Raih Sejumlah Penghargaan

JAKARTA-PT Bank Hibank Indonesia atau hibank berkomitmen untuk terus meningkatkan
Di dalam hukum pidana, perbuatan memasukan keterangan tidak benar ke dalam suatu Perjanjian atau Dokumen atau Akta Otentik, dikualifikasi sebagai tindak pidana

Lembaga Peradilan Menjadi Momok Menakutkan

Oleh: Petrus Selestinus Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pontianak, Kalimantan Barat,