FITRA: Penjualan Mitratel ke TBIG Merugikan Negara

Monday 13 Oct 2014, 6 : 39 pm
by
Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis Uchok Sky Khadafi

JAKARTA-Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Uchok Sky Khadafi mengecam keras keputusan PT Telkom yang melakukan tukar guling anak usahanya PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel)  ke Tower Bersama Infrastructure (TBIG) beberapa waktu lalu.

“Keputusan Telkom melakukan tukar guling sangat merugikan keuangan negara,” tegas Uchok dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (13/10).

Uchok berpendapat, Telkom itu kalau punya otak dan pikiran yang benar, tidak usah menjual atau jual saham perusahaan yang menguntungkan. Yang harus dijual itu, perusahaan yang merugi.

“Ini (Mitratel) perusahaan prospek ke depan bagus, dan dipaksakan untuk dijual,” tegasnya.

Sebelumnya, Telkom menjual 49% saham Mitratel kepada TBIG seharga Rp2.31 triliun. TBIG tidak membayar dalam bentuk tunai ke PT Telkom, melainkan dengan menukar 290 juta saham TBIG.

Dengan demikian, keseluruhan saham Telkom di Mitratel saat ini dihargai Rp 4.71 triliun atau Rp1.2 miliar per menara, karena Mitratel memiliki 3928 menara.

Uchok membeberkan mengapa transaksi ini merugikan Negara. Pertama, kata Uchok,  pembayaran bukan tunai. TBIG membayar Telkom dengan menerbitkan saham baru senilai Rp7972 per saham. Dengan demikian, Telkom berisiko menderita kerugian bila harga saham jatuh di bawah Rp7972.

“Mengingat gejolak pasar saham, tidak ada seorang pun yang dapat menjamin bahwa harga saham akan naik atau turun. Jadi transaksi ini sangat berisiko,” ujarnya.

Alasan kedua, harga Murah. Telkom menjual Mitratel dengan harga rerata per menara sebesar Rp1.2 miliar. Pada saat hampir bersamaan, XL Axiata yang menjadi pesaing Telkomsel, menjual 3500 menara ke PT Solusi Tunas Pratama Tbk dengan harga Rp5.6 triliun dalam bentuk tunai. Itu artinya, XL berhasil mendapatkan harga Rp1.6 miliar per menara. Selisih harga antara harga yang ditetapkan Telkom dan XL adalah Rp400 juta per menara.

“Dengan demikian, potensi kerugian Telkom dalam penjualan 49% saham Mitratel menjadi 49% x 3920 menara x Rp400 juta per menara = Rp768 miliar. Potensi kerugian Negara menjadi makin besar ke Rp1.6 triliun bila Telkom melepas seluruh saham Mitratel ke TBIG,” ujarnya.

Alasan ketiga, kehilangan kendali. Menurut Uchok, penjualan 49% saham Mitratel juga disertai dengan persetujuan Telkom untuk melepas kendali manajemen ke TBIG, padahal Telkom masih menjadi pemegang saham terbesar (51%). Memang benar bahwa Telkom akan memiliki sekitar 13.7% saham di TBIG bila seluruh sahamnya di Mitratel dilepas, tetapi tidak ada jaminan bahwa TBIG akan membayar dividen ke Telkom.

Kehilangan kendali juga akan mengakibatkan posisi Telkom dalam sewa-menyewa menara telekomunikasi menjadi sangat lemah. Karena itu, sangat tidak tepat bila direksi Telkom menganggap penjualan saham Mitratel sebagai bentuk kerja sama strategis dengan TBIG.

“Mengingat kesepakatan ini terjadi di masa transisi pemerintahan dari SBY ke Jokowi, transaksi Telkom-TBIG ini dapat menjadi beban bagi pemerintahan Jokowi. Karena itu, dewan komisaris Telkom diharapkan menolak transaksi Telkom-TBIG ini,” ucapnya.

Karena aksi tukar guling ini mengancam kerugian Negara, Fitra mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera memanggil direktur Telkom, dan Mitratel.

“KPK jangan terkecoh dengan tukar guling saham, yang seolah-olah hanya proses bisnis tetapi ternyata menjual aset negara untuk mengejar fee,” terangnya.

Aksi tukar guling ini, lanjut Uchok timingnya sangat tepat sekali. Di saat DPR sedang gaduh di Parlemen, dan adanya pergantian anggota dewan, serta transisi pemerintahan dari SBY ke Jokowi, mereka (Telkom) berani menjual saham ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

BKPM : Ada Lima Poin Keluhan Investor di Indonesia

JAKARTA-Investor mau berinvestasi di Indonesia memaparkan lima keluhan utama. Adapun
terpidana korupsi

KPU Tetap Usulkan Narapidana Korupsi Tidak Boleh Ikut Pilkada

JAKARTA-Komisi Pemilihan Umum (KPU) bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi),