JAKARTA-Wacana menaikkan harga rokok hingga Rp50.000/bungkus jelas akan berdampak negatif industri rokok. Bukan tidak mungkin industri rokok terancam bangkrut dan ribuan buruh pabrik akan kehilangan pekerjaannya. “Artinya jutaan pekerja di sektor tembakau akan menganggur dan kemiskinan Indonesia akan semakin besar,” kata kata anggota Komisi XI DPR Muhammad Misbakhun dalam siaran persnya, Sabtu (20/8/2016).
Seperti diketahui, industri tembakau saat ini tercatat telah menyerap jumlah tenaga kerja lebih dari 6,1 juta. “Pemerintah jangan terjebak oleh kampanye anti rokok yang dikendalikan oleh kepentingan asing,” tambahnya.
Menurut Misbakhun, industri rokok baik golongan industri kecil, menengah dan besar akan tepukul karena keputusan harga 50.000 per bungkus ini. Pasalnya, industri rokok kecil dan menengah saat ini sudah terpuruk dengan kebijakan pita cukai yang kurang melindungi kepentingan mereka.
“Akibatnya, jumlah industri rokok kecil dan menengah makin lama jumlahnya menyusut,” tuturnya.
Selain itu, kata Politisi Golkar ini, nasib para petani tembakau semakin tidak menentu akibat dampak kenaikan harga rokok tersebut yang memiliki kontribusi penting bagi penerimaan negara melalui penerapan cukai, pajak, bea masuk, pengaturan tata niaga yang sehat maupun pengembangan industri hasil tembakau bagi kepentingan nasional.
Misbakhun mengatakan sektor pertembakauan dari mulai budidaya, pengolahan produksi, tata niaga, distribusi, dan pembangunan industri hasilnya mempunyai peran penting dalam menggerakkan ekonomi nasional dan mempunyai multiplier effect yang sangat luas. “Efek tersebut antara lain berkontrubusi dalam pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan industri 5%-7%,” jelasnya.
Misbakhun mengakui penerimaan negara berupa cukai untuk APBN yang signifikan yaitu Rp141,7 triliun. “Industri tembakau berkontribusi dalam output nasional 1,37% atau setara US$12,18 miliar,” tuturnya.
Misbakhun berdalih industri pertembakauan memberi kontribusi perpajakan terbesar yaitu mencapai 52,7% dibanding BUMN sebesar 8,5%, real estate dan konstruksi 15,7%, dan kesehatan 0,9%. ***