“Helicopter Money”

Wednesday 6 May 2020, 9 : 20 am
by
Dr. Y. Sri Susilo, SE, M.Si, Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UAJY (Atma Jogja); Sekretaris ISEI Cabang Yogyakarta; Pengurus Pusat ISEI.

Selanjutnya helicopter money merupakan kebijakan fiskal ekspansif berupa peningkatan pengeluaran pemerintah (atau mengurangi penerimaan pajak) yang disertai dengan peningkatan jumlah uang beredar (JUB) secara permanen.

Dibandingkan kebijakan fiskal konvensional, kebijakan ini memiliki kelebihan tersendiri karena dapat dilakukan saat utang sebuah negara sudah terlalu tinggi.

Secara singkat dapat dinyatakan helicopter money merupakan pelonggaran moneter yang tidak biasa.

Kebijakan ini diambil dalam situasi tidak normal atau tidak wajar, yaitu pada saat terjadi kekeringan likuiditas sementara perekonomian mandeg atau stagnan karena hal tidak terduga, termasuk pandemi Covid-19.

Quantitative Easing

Hampir semua negara yang terkena dampak krisis melakukan kebijakan counter-cyclical dalam bentuk pelonggaran moneter (quantitative easing atau monetary easing) dan stimulus fiskal.

Quantitative Easing (QE) adalah salah satu kebijakan moneter longgar yang dilakukan oleh bank sentral guna meningkatkan jumlah uang beredar (JUB atau money supply) (Martin, 2012). QE semula identik dengan bank sentral Jepang (BoJ) yang menjalankan kebijakan ini sejak tahun 2001.

BOJ telah menurunkan tingkat suku bunganya sampai dengan nol persen. Setelah itu, bank-bank sentral lain kemudian menjalankan kebijakan serupa, termasuk bank sentral Amerika Serikat (The Fed).

Pada dasarnya, dalam kebijakan QE, bank sentral akan menambah JUB dengan melakukan pembelian berbagai surat berharga (efek) seperti misalnya obligasi/surat utang negara.

Pembelian tersebut diharapkan dapat membanjiri pasar keuangan dengan uang kas (cash money) dan selanjutnya meningkatkan likuiditas mata uang negara tersebut.

Laju inflasi yang terjadi diharapkan akan meningkat seiring dengan bertambahnya JUB dan likuiditas yang melimpah disalurkan oleh perbankan dalam bentuk kredit. Kondisi tersebut akan mendorong investasi dan konsumsi dan pada gilirannya dapat menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, JUB yang meningkat karena pengaruh kebijakan QE akan memperlemah nilai tukar mata uang domestik.

Krisis ekonomi menjadi alasan utama perlunya dilakukan kebijakan QE. Di saat perekonomian krisis, dimana aktivitas bisnis sedang lesu, angka pengangguran tinggi, merosotnya tingkat permintaan, dan pendapatan masyarakat menurun.

Dengan kebijakan QE, JUB di masyarakat semakin bertambah diikuti dengan penurunan tingkat suku bunga jangka pendek yang mendekati 0 persen.

Tujuan kebijakan tersebut, agar pelaku ekonomi terdorong untuk mengajukan pinjaman atau kredit jangka pendek dengan bunga rendah tersebut.

Pemberian kredit oleh perbankan kepada pelaku ekonomi tersebut diharapkan mampu mendorong tingkat konsumsi dan investasi.

Meningkatnya konsumsi dan investasi akan menggerakan permintaan terhadap barang dan jasa dalam perekonomian. Kondisi tersebut akan menggerakkan roda kegiatan produksi untuk memenuhi meningkatnya permintaan tersebut.

Selanjutnya terjadi proses efek pengganda (multiplier effect) sehingga kegiatan perekonomian mulai menggeliat dan ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat.

Stimulus Fiskal

Menurut Abimanyu (2005), kebijakan stimulus fiskal dapat diartikan sebagai kebijakan fiskal yang dilakukan secara ekspansif melalui kebijakan anggaran yang longgar (loose budget policy), yang ditujukan untuk mendorong perekonomian (Wardhana dan Hartono, 2012).

Stimulus fiskal dapat diberikan melalui instrumen pajak dan atau pengeluaran pemerintah meskipun masing-masing instrumen stimulus fiskal tersebut memiliki pengaruh dan dampak pengganda yang berbeda terhadap perekonomian.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Tambahan Kuota Haji Indonesia Akan di Bawa Raja Salman

SERANG-Presiden Joko Widodo meyakini pemerintah Kerajaan Arab Saudi menyetujui permintaan
Kemitraan ini diharapkan mampu memenuhi komitmen Indonesia dalam mereduksi emisi gas rumah kaca sesuai Nationally Determined Contribution (NDC) pada tahun 2030 sebesar 29% dari Bussiness As Usual (BAU) dengan kemampuan sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional.

Indonesia Gagas Front Persatuan Internasional Melawan Covid-19

Seluruh intervensi Menteri ESDM tersebut, disampaikan dalam pertemuan Menteri-Menteri Energi