Insentif Pajak Bisa Dorong Pertumbuhan Investasi

Thursday 26 Apr 2018, 1 : 11 pm
fraksipan.com

*) Ir. Achmad Hafisz Tohir

Insentif pajak dalam jangka pendek mungkin akan mengurangi penerimaan pajak, tetapi dalam jangka panjang akan mendorong laju ekonomi, asalkan dapat membuka lapangan kerja baru. Karena investasi di bawah Rp500 Miliar (U$35 juta) adalah yang paling banyak dilakukan investor. Diharapkan insentif ini dapat memberikan multiplier effect terhadap pertumbuhan.

Regulasi pajak tentu memiliki pengaruh lansung terhadap investasi. Apabila investor skala kecil diberikan kelonggaran pajak, maka mereka akan mendapatkan tambahan benefit dan tambahan ini akan menjadi insentif bagi para investor skala kecil. Saya setuju terhadap inisiatif pemerintah dalam hal kelonggaran fiskal ini, tetapi harus diingat bahwa regulasi baru ini tidak boleh melanggar UU.

Trend Menguatnya US Dollar terhadap Rupiah. Penguatan USD beberapa hari terakhir lebih banyak dipicu oleh meningkatnya yield US treasury bills yang hampir 3,0% serta kemungkinan kembali naiknya suku bunga Fed Fund Rate (FFR) lebih dari 3 kali dalam 2018 ini. Sehingga optimisme investor terhadap akan membaiknya prospek ekonomi AS akan membaik menjadi meningkat.

Hal ini dipacu pula oleh perang dagang AS dan China yang terjadi saat ini. Terkait hal tersebu maka Bank Indonesia harus extra hati hati sekali dalam melakukan melakukan intervensi terhadap pasar valas maupun pasar SBN (harus dalam jumlah yang terukur) dengan terus mewaspadai risiko berlanjutnya trend pelemahan nilai tukar rupiah, baik yang dipicu oleh gejolak global (dampak kenaikan suku bunga AS, perang dagang AS-China) maupun akibat kenaikan harga minyak dunia terhadap kemungkinan arus keluar dari pasar SBN dan saham Indonesia yang berasal dari kenaikan permintaan valas oleh korporasi domestik.

Akibat Melemahnya nilai tukar rupiah, tentu akan memberikan dampak terhadap ekonomi kita, antara lain: Pertama-aliran modal asing yang keluar dapat semakin tinggi. Saat ini, lebih dari Rp 8,6 triliun (year to date/ytd) sejak awal 2018. Ini merupakan akibat lansung dari dari yield treasury atau surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun yang meningkat ke 2,9% tertinggi dalam 4 tahun terakhir. Otomatis yield spread dari SBN (Surat Berharga Negara) Indonesia akan semakin sempit. Investor akhirnya mencatat penjualan bersih dengan memburu surat utang AS.

Kedua, daya saing produk Indonesia baik domestik maupun ekspor, menjadi lemah. Karen beberapa sektor industri bergantung pada impor bahan baku & barang modal. Apabila dolarnya kuat, maka biaya produksi pasti naik sehingga mengakibatkan harga barang jadi lebih mahal. Sementara konsumsi domestik masih stagnan, mk pengaruh terhadap profit pada pengusaha akan semakin rendah.

Ketiga, beban pembayaran cicilan & bunga utang luar negeri pemerintah & corporasi akan semakin besar. Risiko gagal bayar akan naik apalagi jika ada utang swasta yang belum dilindung nilai (hedging).

Keempat, Indonesia sebagai net importir minyak mentah sangat sensitif terhadap pergerakan dolar mengingat impor minyak kita cukup besar (tercatat 500 ribu barel/hari). Jika dolar menguat terhadap rupiah, harga BBM akan tertekan baik yang subsidi maupun non-subsidi.

Efeknya penyesuaian harga BBM berbagai jenis diprediksi akn terus bjalan. Indonesian Crude Price (ICP): 48 US/barel sementara saat ini brent sudah dijual US$71/barel. Nilai tukar rupiah saling terkait dengan indikator makro lainnya, seperti PDB (Produk Domestik Bruto/Gross Domestic Product), harga minyak mentah dunia, investasi, serta inflasi.

Pentingnya mengetahui keterkaitan antar indikator ekonomi makro karena stabilitas ekonomi makro sebagai salah satu prasyarat dasar untuk meningkatkan daya saing ekonomi suatu negara. Produk Domestik Bruto mencerminkan nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara atau sebagai jumlah barang & jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Nilai PDB berbanding lurus dengan daya saing ekonomi. Semakin melemah nilai rupiah maka PDB akan semakin menurun.

PDB yang meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang membaik akan menyokong nilai rupiah, sebaliknya defisit neraca perdagangan yang bertambah akan membuat rupiah terdepresiasi. Inilah sebabnya kenapa sangat penting bagi Indonesia untuk menggenjot ekspor & mengurangi ketergantungan impor.

Bagi importir, fluktuasi rupiah yang tajam, membuat resiko nilai tukar semakin besar. Apalagi sejumlah industri manufaktur seperti, farmasi, mesin, & kimia memiliki ketergantungan bahan baku. Resiko tersebut juga terjadi pada nilai utang pemerintah & swasta dalam bentuk mata uang asing. Sebagai masukan untuk solusi, variabel kurs dollar Amerika Serikat memiliki hubungan yang signifikan positif terhadap inflasi di Indonesia.

Melemahnya nilai rupiah terhadap mata uang asing yang disebabkan oleh utang luar negeri, baik pemerintah maupun sektor swasta yang membengkak, akan berakibat pada menurunnya harga barang ekspor diluar negeri. Sehingga barang ekspor menjadi lebih murah dibanding dengan barang dari negara lain. Berarti setiap terjadi depresiasi rupiah maka akan meningkatkan permintaan uang, demikian juga sebaliknya. Hal ini disebabkan ketika nilai rupiah terdepresiasi harga barang impor menjadi lebih mahal sehingga diperlukan rupiah yang lebih banyak guna membeli barang impor. **

*)Wakil Ketua Komisi XI DPR Fraksi PAN

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

PMI Manufaktur Indonesia di Level 54,2

JAKARTA – Industri manufaktur tanah air semakin menggeliat dengan meningkatnya permintaan baru yang memacu

Ribuan PNS Terpidana Korupsi Berstatus Hukum Tetap Belum Diberhentikan

JAKARTA-Berdasarkan Data Kedeputian Bidang Pengawasan dan Pengendalian Kepegawaian (Wasdapeg) Badan