IRMA:Hapuskan Kesan KPU dan Bawaslu “Lembaga Yang Pasti Benar”

Sunday 15 Jun 2014, 10 : 24 pm
by

JAKARTA-Pemilu legislatig (pileg) pada 9 April lalu menjadi catatan kelam bagi perjalanan demokrasi di Indonesia.  Penyelenggaran Pemilu yang semestinya menjadi pesta rakyat  Indonesia 5 tahunan ini ternoda akibat amburadul dan ketidakprofesionalan cara kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sehingga menyebabkan masa depan bangsa serta negara Indonesia menjadi pertaruhannya. Karena itu, kesan yang melekat pada penyelenggara pemilu termasuk KPU dan Bawaslu sebagai “Lembaga Yang Pasti Benar” harus dihapuskan.

Demikian ditegaskan Ketua Umum Nasional Gerakan Perempuan Indonesia “Ibu Pertiwi Memanggil” (IRMA), Mariska Lubis, dalam sebuah diskusi utusan IRMA Daerah di Jakarta, akhir pekan lalu. Diskusi ini juga dihadiri oleh Angel, Clarence Victoria dan Sylvia Rossa (Korda Jakarta),  Siti Sarah (Korda Aceh), Dian Wisdianawati (Korda Cianjur), Galih Permata (Korda Bekasi), Ratih H. Soemoprawiro (Korda Surabaya).

Menurut Mariska, pernyataannya tersebut bukan soal percaya atau tidak percaya, tetapi refleksi dari dinamika pelaksanaan pileg pada April lalu.  Hingga saat ini, lebih lanjut, 900 kasus sengketa hasil pileg yang diajukan ke MK belum semua diselesaikan.

Ironis jelasnya, bangsa Indonesia terpaksa menerima hasil tersebut meski banyak kasus tak terselesaikan. “Bahkan untuk kasus pileg Jogya yang begitu semrawutnya karena politik uang dilaporkan tidak ada kasus sama sekali. Dan, oleh sebuah media besar dikatakan pileg Jogjakarta sangat mengherankan jika tidak ada kasus. Itu baru satu daerah saja dan 900 kasus pileg ke MK merupakan bukti bahwa penyelenggara pemilu sangat tidak professional dalam menjalankan misinya,” tegas Mariska yang juga penulis “Ayahku Inspirasiku” terbitan Penerbit Kaki Langit.

Mariska menjelaskan, jika Indonesia mau mengakui, hasil pemilu yang sekarang digunakan sebagai pijakan Pilpres adalah hasil hitung cepat. Sehingga kalau kasus sengketa pileg itu yang ada di MK dibedah, bisa jadi pilpres kali ini tidak sah. Kalau mau ditelusuri lebih lanjut, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kuota 30 persen untuk perempuan hanya sebagai prasyarat lolos tidaknya sebuah partai untuk maju ke pileg ? Sehingga, sebenarnya apapun sistemnya, ditambahkannya, perempuan sebenarnya hanya sebagai obyek politik dan bukan menunjukkan bahwa pilegnya berlangsung demokratis karena melibatkan kaum perempuan. “Perempuan yang lolos ke Senayan hanya sekitar 10 persen dari kuota yang seharusnya dan itupun dipertanyakan kualitas caleg yang lolos. Banyak caleg perempuan yang berkualitas kandas dan itu akibat dari politik uang yang menjamur di mana-mana. Lha, harusnya apapun hasilnya, kuota hasil itu harus terpenuhi juga. Namun yang terjadi jelas bahwa, sebenarnya perempuan jadi obyek politik dari prasyarat sebuah partai ikut dalam pileg.,” ujar Mariska yang juga penulis buku “Wahai Pemimpin Bangsa !!! Belajar Dari Seks Dong.

Ujung dari penyelenggaraan pemilu yang buruk, tegasnya, perempuan dan keluarga sebagai korban. Pemilu yang buruk bukan soal politik uang atau “serangan fajar” saja tetapi soal kehidupan setelah pemilu itu sendiri.   “Kehidupan yang berat akan dihadapi oleh para perempuan dan keluarga setelah pesta demokrasi selesai. Perempuan Indonesia menginginkan kehidupan yang layak dan terjamin setelah pemilu usai. Namun jika nasib sebagian besar perempuan dan keluarga tidak membaik, artinya pemilu tidak memberi dampak apapun dan tidak ada gunanya,”  pungkas Mariska.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Pengamat: Target 20% Suara Golkar Cukup Realistis Pada Pemilu 2024

JAKARTA,- Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Jejak Kasus AM Jangan Sampai Hilang

JAKARTA-Dugaan suap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar (AM) terkait