Oleh: Emrus Sihombing
Wacana hangat siang ini, adanya isu dugaan terkait tentang 500 M rupiah untuk sebuah jabatan menteri.
Terkait isu tersebut, para pihak sebaiknya menahan diri untuk tidak terlalu reaktif menolak atau membantah isu tersebut. Sebaiknya mengajak para pihak untuk saling konfirmasi menguji kebenaran isu tersebut. Bukan malah seolah “kebakaran jenggot.”
Argumentasi penolakan dengan alasan gaji yang diterima sebagai menteri kurang lebih hanya Rp. 100.000.000, per bulan untuk seorang menteri sehingga tidak logis mau membayar 500 M rupiah, karena sangat jauh dari gaji yang diperoleh selama lima tahun, yaitu sekitar 6 M rupiah.
Argumentasi ini terlalu sederhana dan sangat lemah. Bila memang hasil investigasi ada yang mau membayar 500 M rupiah, boleh jadi orang yang bersangkutan telah melakukan kalkulasi dalam bentuk korupsi anggaran kementerian pertahun yang mencapai puluhan truliyunan rupiah atau korupsi kebijakan, seperti perijinan.
Menteri itu tetap manusia, yang bisa saja jabatannya sebagai produk transaksional. Bukankah beberapa menteri kita sudah ada yang berurusan dengan KPK terkait dengan tindak pidana korupsi?
Kemudian, alasan bahwa dengan jumlah uang sebesar 500 M rupiah akan mudah diditeksi dan diketahui ole PPATK. Argumentasi ini menapikkan ungkapan, “maling selalu selangkah lebih maju” daripada penindakan atau pencegahan.
Dari sisi positif, isu ini justru bisa menjadi pintu masuk untuk melakukan investigasi lebih lanjut oleh aparat hukum dan atau media massa, agar memang penyelenggaraan negara kita menjadi transparan.
Saya menyarankan agar fakta, data dan bukti yang dimiliki HD sebagai orang yang melontarkan isu tersebut, sebagai pertanggungjawaban publiknya harus bersedia menyampaikan atau melaporkannya ke aparat hukum dan atau media massa. Jika tidak, lontaran pandangan ini berpotensi menimbulkan kegaduhan di ruang publik.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner di Jakarta