Jakarta-Pembahasan RUU Percepatan Pembangun Daerah Kepulauan (PPDK) yang kini masih digodog bersama pemerintah dan DPR sebaiknya diselesaikan setelah pemilu 2014. Alasanya suasananya saat ini dinilai tidak tepat. “Tidak bisa membahas RUU ini dalam suasana panas dan keruh menjelang Pemilu 2014. Dalam situasi seperti ini, jelas tidak bisa berpikiran jernih,” kata Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro dalam diskusi “RUU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan (PPDK)” bersama Ketua Pansus RUU PPDK, Alex Litay dan Dirjen Otoda, Prof Djohermansyah Djohan di Jakarta, Selasa,(1/10).
Menurut Guru Besar riset LIPI ini, pembahasan RUU PPDK pasca pemilu 2014 ini harus melahirkan format baru, agar RUU yang ada nantinya tidak tambal sulam. “Saya tidak mendengar adanya latar belakang ancaman soal pembentukan RUU ini, termasuk masalah perbatasan. Namun begitu soal kemiskinan menjadi tantangan luar biasa,” tegasnya.
Dirinya, kata Siti lagi, justru mengkhawatirkan RUU PPDK ini sulit dalam implementasi di lapangan. “Lihat saja kasus UU Otsus Papua, akhirnya dikembalikan. Jadi intinya, jangan sampai RUU PPDK ini ternyata jalan ditempat,” ucapnya.
Lebih jauh Siti menyarankan ke depan agar Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal digabungkan saja ke dalam Kementerian Dalam Negeri. “Sehingga semua masalah-masalah daerah menjadi otoritas Kemendagri,” tegasnya.
Yang jelas, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Prof Djohermansyah secara implisit menolak membahas RUU PPDK ini. Alasannya, RUU ini dinilai tidak strategis.
Menurut Djohermansyah, dunia internasional sudah mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan. Maka usulan RUU PPDK ini, jelas bertentangan dengan hukum laut internasional yang diwujudkan dalam UNCLOS. “Adanya RUU inikan sama saja negara dalam negara,” ucapnya singkat.
Belum lagi, lanjut Prof Djo-sapaan akrabnya, soal anggaran dalam RUU ini yang meminta alokasi dana satu persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) dari APBN. “Nah, kalau semua UU minta alokasi dana, dan mengkapling-kapling APBN, ya bisa habis. Sebut saja yang juga diusulkan UU Desa, dimana setiap Desa diusulkan mendapat sekitar satu miliar,” terangnya.
Namun demikian Djohermansyah tak membantah biaya penyelenggaran pemerintah daerah di kepulauan itu sangat mahal. “Begitu juga dengan pelayanan publik, juga mahal,”
Lebih jauh Djohermansyah menawarkan solusi ke DPR agar substansi RUU PPDK sebaiknya dimasukkan saja ke dalam dua UU yang sedang direvisi, yakni UU 32/2004 soal Pemda dan UU 33/2004 soal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Sedangkan Ketua Pansus Alex Litay mengakui pembahasan RUU sudah mengalami penundaan sekitar 5 kali masa persidangan. “Ditambah lagi dengan 3 kali lobi. Kalau pemerintah mau minta lobi lagi, apalagi yang mau dilobi,” tanya Alex.
Alex menuturkan salah satu latar belakang kemunculan RUU PPDK ini, antara lain pengalaman masa lalu selama 65 tahun setelah merdeka, daerah kepulauan ini selalu tertinggal dalam pembangunan. “Ada banyak faktor yang menghambat kemajuan daerah ini, misalnya saja geografi,” ungkapnya.
Selain itu, kata mantan Sekjen PDI Perjuangan ini, orientasi pembangunan nasional selalu ke continental, bukan kelautan. “Padahal daerah kepulauan ini sangat kaya lautnya, sementara rakyatnya tetap miskin. Dari data FAO, kekayaan laut, misalnya ikan yang dicuri nelayan asing sekitar Rp3 Triliun/tahun,” jelasnya.
Oleh sebab itu, sambung Alex, sekarang ini tinggal kemauan pemerintah, apakah serius menyelesaian RUU ini atau tidak. “Kita menunggu political wiil pemerintah,” pungkasnya. **cea