Jangan Bunuh Hak Politik Mantan Eks Napi Koruptor

Friday 6 Apr 2018, 6 : 38 pm
kompas.com

JAKARTA-Masyarakat menilai para koruptor yang sudah menjalankan hukuman tetap masih perlu diberikan hak politiknya. Tentu tidak adil, jika hak dipilih (politik) para koruptor dalam Pemilu itu diakhiri. Sebab hal itu menyangkut hak asasi manusia (HAM). “Jadi, kalau dia sudah menjalani hukuman, maka semestinya hak politiknya bisa dipulihkan. Karena itulah salah satu esensi mengapa adanya hukuman itu,” kata Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow kepada wartawan di Jakarta, Jumat (6/4/2018).

Dia mengasumsikan setelah menjalani hukuman di rumah tahanan, seseorang akan mengalami perubahan sikap dan perilaku. “Mereka akan menjadi pribadi yang baru untuk hidup kembali dalam dan bersama masyarakat. Sehingga harus dipulihkan juga hak politiknya dalam Pemilu, untuk memilih dan dipilih,” ujarnya.

Jeiry mengatakan orang boleh saja membenci, marah, bahkan mengutuk kejahatan korupsinya. Tapi, jika seseorang telah menjalani hukuman sesuai putusan pengadilan karena satu kasus kejahatan korupsi yang dia lakukan, maka mestinya hak politiknya bisa dipulihkan. “Bisa juga pemulihan hak politik itu diatur dalam kurun waktu tertentu. Tapi kupikir tak boleh dimatikan permanen hak politik seseorang, sebab hak politik itu juga adalah hak asasi yang tak boleh dimatikan atau diakhiri secara permanen,” tambahnya.

Soal kemungkinan orang ini terpilih lagi dan lalu berkuasa biarlah itu diserahkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Dan dalam Pemilu, latar belakang orang yang bersangkutan tak boleh juga ditutup-tutupi, malah harus dibuka agar masyarakat tahu.

“Itulah yang disebut dengan “kampanye negatif”. Masyarakat harus tahu bahwa orang tersebut di masa lalu pernah melakukan kejahatan korupsi. Atas dasar itu, biarlah rakyat menentukan apakah akan memilih yang bersangkutan atau tidak,” jelas Jeiry.

Jeiry mengaku memahami bahwa ada potensi yang bersangkutan untuk melakukan kejahatan korupsi lagi jika kembali berkuasa. Itulah kekuatiran banyak orang. Makanya harus diawasi dan dibuat mekanisme supaya hal itu tidak terjadi atau dihalangi agar tak terjadi.

Tapi mematikan hak politik untuk dipilih dalam Pemilu dan Pilkada merupakan sebuah solusi yang tak manusiawi dan tidak bermartabat. Penyelesaian seperti itu rasanya kurang bijak dan etis karena melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan. “Kemanusiaan adalah nilai tertinggi yang harus dihargai dan dihormati dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada,” pungkasnya. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Paslon No. 3 Buat Gaduh, Nadi Optimis Hasanah Menang di Pilgub Jabar

DEPOK-Debat politik putaran kedua antara pasangan calon gubernur (cagub) dan

Kasus Positif COVID-19 Naik 700, Pasien Sembuh 293, Meninggal 40

JAKARTA-Pemerintah Indonesia melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 mencatat penambahan