Jelang AEC, Perlu Ada Dewan UMKM

Monday 29 Sep 2014, 8 : 37 pm
daridulu.com/antasena

JAKARTA-Indonesia akan resmi masuk ASEAN Economic Community (AEC)  pada 2015.  Pasar ini merupakan arus besar perdagangan barang atau jasa, juga pasar tenaga kerja. “Indonesia akan dipenuhi berbagai macam barang dan jasa dari negara-negara dunia yang secara langsung atau tidak, mempengaruhi pasar nasional. Karena itu dibutuhkan payung hukum yang integratif di bidang UMKM,” kata Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI Ade Komaruddin dalam acara peluncuran buku karnya ‘Politik Hukum Integratif UMKM’ diterbitkan RMBooks 2014, di Gedung DPR RI Jakarta, Senin (29/9/2014). Hadir antara lain Menteri UMKM Syarif (Syarifuddi) Hasan, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad,  dan lain-lain.

Menurut Ade, pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) adalah mereka yang akan sangat merasakan dampak dari pasar terbuka itu. Karena produk-produk atau jasa mereka akan bersaing secara kualitas maupun harga dengan produk dari negara-negara tetangga. “Kita bisa membayangkan, jauh sebelum pasar ASEAN-Indonesia dibuka, yaitu dalam waktu 10 tahun terakhir ini, pasar-pasar domestik kita sudah banyak dibanjiri oleh produk-produk impor dari negara seperti Cina, India, dan Eropa. Bagaimana jadinya bila pasar itu sudah dibuka, sudah bisa dipastikan akan membludak produk impor dari banyak negara? tanya Ade lagi.

Dari dulu hingga kini kata Ade, sektor UMKM kita masih menghadapi 5 problem klasik. Yaitu, modal, skill, manajemen, teknologi, dan pasar. Semua ini menjadi penghambat bagi sektor ini maju dan berdaya saing. Ironinya lagi, dari eksternal mereka, dalam hal ini stakeholders, pemerintah kurang memberikan dukungan. Alih-alih menyalahkan UMKM karena problem yang diidap olehnya, nyatanya pemerintah sebetulnya melakukan pembiaran sehingga  mereka tetap lestari dengan masalahnya.

Padahal, potensi sektor ini sangat besar. Per tahun 2013 saja, konstribusi pada PDB nasional mencapai 57 persen. Demikian juga tingkat penyerapan tenaga kerjanya juga sangat tinggi. Selain tentu saja tingkat survivelitas-nya teruji. Krisis 1997/1998 membuktikan sektor UMKM yang paling kuat dan fleksibel dalam menghadapi goncangan ekonomi.

Momentum pasar bebas membutuhkan political will yang kuat dari pemerintah, terutama kepada UMKM. Namun, kalau dibiarkan, maka akan sulit bagi kita untuk maju dan berdaya saing. Karena itu, yang paling penting pemerintah memiliki politik hukum yang jelas dalam bidang ini. Politik hukum inilah yang akan mengatur, melindungi, dan mengembangkan sektor ini hingga menjadi sektor usaha yang unggul dan kompetitif,” tambahnya.

Hanya saja, peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah pusat dan daerah dalam bidang UMKM belum jelas. Keberadaan peraturan perundang-undangan tersebut masih menyebar dan sektoral, begitu pula dengan programnya, yang juga sama-sama masih menyebar dan sektoral. Akibatnya pembinaan UMKM menjadi parsial dan tidak terarah dengan baik, bahkan sebagiannya menjadi penghambat daya saing UMKM. Di sinilah perlunya kebijakan Politik Hukum Integratif bagi UMKM. “Saya kira, dengan hadirnya Menteri Negara Koperasi dan UKM, akan menambah pemahaman kita lebih jauh duduk persoalan di sektor UMKM, termasuk yang ada kaitannya dengan peraturan perundang-undangan. Jadi, pemerintah dan DPR harus melakukan evaluasi dan pengkajian ulang terhadap seluruh peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah pusat dan daerah yang berkaitan dengan UMKM untuk diperbaiki. DPR mengajukan amandemen atau revisi dari undang-undang tersebut dan melakukan inisiatif terhadap RUU yang diperkirakan akan membantu pengembangan daya saing UMKM,” ujarnya.

Ke depan, Indonesia harus punya sebuah arsitektur politik hukum UMKM nasional yang terintegrasi dan tidak tumpang-tindih. Ini penting sebagai peraturan induk (umbrella legislation) bagi peraturan perundang-undangan ataupun peraturan pusat dan daerah. Badan Pembina Hukum Nasional (BPHN) berperan penting mengarahkan politik hukum bagi UMKM yang sesuai dengan kebutuhan ini.

Selain itu, perlu ada lembaga yang mampu mengkoordinasikan semua kebijakan dan implementasi aturan di lapangan yang melibatkan semua kementerian. Sesuai dengan Inpres Nomor 6 tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM, pembentukan kebijakan di setiap kementerian dan pemerintah daerah memerlukan suatu wadah atau komisi tertentu seperti Presidential Commision ataupun Dewan Nasional UMKM seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain. Seperti di Malaysia, Korea Selatan, dan India. Mereka memiliki lembaga khusus yang bertanggung jawab langsung ke presiden dalam pengelolaan UMKM.

Tugas Presidential Commision ataupun Dewan Nasional UMKM adalah mengkoordinasikan dan mengevaluasi setiap kebijakan yang dikeluarkan masing-masing instansi untuk mengembangkan daya saing UMKM.

Dengan konsep pengembangan seperti itu, maka UMKM kita akan mampu tumbuh maju dan berdaya saing di tengah globalisasi ekonomi saat ini.  “Politik keberpihakan itu penting, agar kita bisa menjadi tuan di negeri sendiri,” pungkasnya. (ek)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Presiden Minta Kepala Daerah Jangan Takut Dikriminalisasi

JAKARTA-Presiden Joko Widodo kembali menginstruksikan kepada seluruh kepala daerah untuk

Peringati Kartini, BTN Bantu SMAN 1 Rembang Lewat CSR

JAKARTA-PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk memberikan bantuan 100 unit