Jokowi Didesak Potong Tunjangan Menteri dan DPR

Monday 1 Sep 2014, 4 : 24 pm
Jurnalparlemen.com

JAKARTA-Rencana kenaikkan harga BBM bersubsidi oleh Presiden Joko Widodo harus dibarengi dengan kebijakan yang mengurangi fasilitas pejabat dan elit politik. Artinya kenaikkan BBM harus ditanggung bersama. “Langkah itu misalnya dengan memotong fasilitas, tunjangan dan perjalanan dinas, mulai dari presiden, menteri, anggota DPR, dan DPRD di seluruh Indonesia. Dengan begitu, pejabat juga harus menanggung dampak kenaikkan BBM,” kata pengamat politik Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi dalam dialektika “Sistem Presidentil di Pemerintahan Jokowi-JK” di Jakarta, Senin, (1/09/2014).

Diakui Airlangga, terkait kebijakan rencana kenaikkan harga BBM ini posisinya memang menyulitkan Pemerintahan Jokowi, alias dilematis.”Presiden Jokowi ini seolah maju kena, mundur kena. Kalaupun memang harus ada rasionalisasi terhadap BBM, maka jangan hanya rakyat yang harus menanggung bebannya, pejabat juga harus ikut menanggung secara bersama-sama,” ungkapnya.

Menurut Dosen FISIP UI, Presiden Indonesia memiliki rasio besar gaji dibanding produk domestik bruto (PDB) per person per tahun di urutan ketiga dunia. “Presiden Indonesia mengantongi gaji per tahun US$ 124.171 atau setara dengan Rp 1,12 miliar atau 28 kali PDB per orang (pendapatan per kapita). Indonesia berada di urutan ketiga dunia setelah kepala negara Kenya (US$ 427.886 sekitar Rp 3,8 miliar atau 240 kali pendapatan per kapita) dan Singapura (US$ 2,18 juta sekitar Rp 19,8 miliar atau 40 kali pendapatan per kapita),” terangnya.

Lebih jauh Airlangga memberikan contoh, bagaimana Bung Hatta saat menjadi wapres justru hidup sederhana dan memilih mengencangkan ikat pinggan. Bung Hatta  sempat mengungkapkan salah satu penyakit elit politik dan pejabat di Indonesia adalah senang menaikkan gaji, sementara rakyat harus menanggung beban,” jelasnya.

Sementara itu, Sekretaris Fraksi PPP MPR, Zainut Tauhid, mengungkapkan gaya kepemimpinan Presiden Jokowi  sedang ditunggu guna  membenahi masalah yang dihadapi negara ini. “Sistem presidentil sebenarnya memperkuat posisi Jokowi untuk mengambil keputusan sendiri, termasuk  menentukan UU, apakan  diterima atau tidak dari DPR. Juga, punya hak kuat untuk menentukan seseorang di jabatan publik,” katanya

Menurutnya, sistem presidentil ini ada kelemahan yaitu saat Jokowi JK menang di pilpres kemarin,  tidak mendapatkan dukungan mayoritas, membuat Jokowi harus bisa menarik beberapa partai untuk mau berkoalisi sehingga suaranya di DPR nanti bisa kuat.

Sedangkan Ferry Mursyidan Baldan,  Sekjen Partai Nasional Demokrat, melihat sistem presidentil  sebenarnya memperkuat juga peran DPR RI untuk mengontrol pemerintah Jokowi. “Disinilah perlunya DPR yang kuat sehingga membackup pemerintahan Jokowi,” pungkasnya. (ek)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Keluarga Penumpang Minta Agar Pperasi SAR MH370 Diteruskan

KUALA LUMPUR- Utusan khusus  Indonesia yang juga Staf Ahli Menteri
SAHAM

Perdagangan Awal Pekan, IHSG Berakhir di Zona Merah

JAKARTA-Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) ditutup