Namun demikian dampak kebijakan pembangunan infrastruktur tidak serta merta dapat dirasakan dalam jangka pendek. “Untuk itu kita banyak membangun infrastruktur di Papua, Papua Barat, NTT dan kawasan perbatasan,” ujarnya
Daya saing yang baik diperlukan untuk menarik investasi baik dari dalam maupun luar negeri untuk meningkatkan produksi nasional dan membuka lapangan kerja yang akan mengurangi jumlah pengangguran.
“Infrastruktur yang kurang memadai akan membuat produk Indonesia sulit bersaing. Rendahnya konektivitas yang mengakibatkan biaya logistik kita lebih mahal daripada Malaysia, Singapura atau bahkan Filipina,” ujarnya.
Menteri Basuki mengatakan dalam membangun konektivitas dilakukan secara sinergi multimoda, sebagai contoh Kementerian Perhubungan membangun pelabuhan dan bandara, maka Kementerian PUPR akan menyediakan akses jalan bebas hambatannya.
Pembiayaan menjadi tantangan Pemerintah meskipun anggaran infrastruktur di Kementerian PUPR cukup besar dengan rata-rata diatas Rp 100 triliun, namun belum memenuhi kebutuhan. Dalam lima tahun (2015-2019) total anggaran Kementerian PUPR sebesar Rp 548,4 triliun yang terbagi tahun 2015 sebesar Rp 119,6 triliun, tahun 2016 sebesar Rp 98,1 triliun, tahun 2017 sebesar Ro 106,3 triliun, tahun 2018 sebesar Rp 113,7 triliun dan tahun 2019 sebesar Rp 110,7 triliun.
Oleh karenanya untuk infrastruktur yang pembiayaannya dapat melibatkan masyarakat seperti jalan tol, maka pembangunannya melalui investasi badan usaha. Dengan demikian anggaran infrastruktur yang ada dioptimalkan bagi pembangunan di kawasan perbatasan, daerah terpencil maupun infrastruktur kerakyatan seperti air minum, sanitasi, jembatan gantung, rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah semakin diperluas cakupan layanannya.