Koalisi MKE Kecam Keras Niat Jahat Pemerintah dan DPR

Friday 3 Apr 2020, 5 : 05 pm
by
Ilustrasi

JAKARTA-Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (Koalisi MKE) mengecam keras niat jahat Pemerintah dan DPR yang menjadikan wabah pandemi Covid-19 sebagai celah untuk membahas regulasi yang banyak ditolak oleh masyarakat.

Diantaranya Omnibus Law Cipta Kerja, Perpajakan dan Ibu Kota Negara. Sebab, hingga terakhir sidang DPR pada Senin, 30 Maret 2020 DPR masih ngotot menetapkan pembahasan omnibus law dan Ibu Kota Negara untuk terus dilanjutkan.

“Seolah-olah tidak memiliki rasa empati dan kemanusiaan, ditengah krisis ini DPR dan Pemerintah masih mengedepankan kepentingan investor ketimbang nyawa warga Negara Indonesia yang angka nya tiap hari terus meningkat akibat Covid-19,” ujar Rahmat Maulana Sidik, Indonesia for Global Justice (IGJ) di Jakarta, Kamis (2/4).

Kondisi demikian, kembali ditegaskan dalam rekomendasi kebijakan yang dikeluarkan oleh Bapennas terkait kebijakan ekonomi ditengah pandemic Covid-19.

Dinyatakan didalamnya, akan mempercepat penyelesaian pembahasan omnibus law sebagai solusi untuk menarik investasi pada semester II tahun 2020. Kebijakan ini tidak tepat sasaran dan penuh kekeliruan, yang dibutuhkan kini adalah kehadiran Pemerintah dalam melindungi warga Negara Indonesia ditengah ancaman Covid-19, bukan melindungi kepentingan investor dibalik bingkai percepatan penyelesaian omnibus law.

Menurutnya, wabah pandemi Covid-19 semestinya menjadi titik balik untuk tidak kembali pada kebijakan perdagangan yang “business as usual”, dan tergantung pada investasi privat harus dikoreksi, khususnya yang terkait dengan kesehatan, pangan, serta layanan publik mendasar.

Beberapa negara yang bertindak cepat dengan segera me-Nasionalisasi rumah sakit dan meletakkan pengelolaan pangan di tangan publik bukan privat menunjukkan bahwa ada yang salah dengan kebijakan ekonomi dan perdagangan pra pandemi. Negara yang sudah kehilangan kapasitas produksi pangan akan sangat terpukul karena sangat tergantung ekspor impor, sementara pada situasi karantina semacam ini menjadi semakin terbatas.

“Penyelesaian pembahasan Omnibus Law ditengah gejolak ekonomi global akibat pandemi Covid-19 juga tidak menjamin bisa menarik investasi untuk menggerakkan sektor industri. Hal ini karena tidak ada investor yang mau menanamkan modalnya ditengah resiko keuangan yang sangat tinggi,” ujar Susan Herawati dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).

Menurutnya, jika harapan Jokowi dengan Omnibus Law disahkan dalam waktu dekat adalah untuk dapat meningkatkan nilai perdagangan untuk menyelamatkan defisit neraca pembayaran, maka sebenarnya tidak ada jaminan juga ekspor akan meningkat, mengingat rantai pasok produksi global juga mengalami kemandekan.

Perdagangan global tidak dalam kondisi yang normal.

“Krisis kapitalisme sudah permanen. Kondisi hari ini tidak bisa dijawab dengan sistem ekonomi yang sama, melainkan kekuatan ekonomi rakyat lah yang menjadi solusi yang tepat,” tegasnya.

Oleh karena itu, pembahasan Omnibus Law ditengah wabah pandemic Covid-19 hanya semakin menunjukkan bahwa Pemerintah dan DPR RI tidak sensitive dengan kehidupan rakyat, dan memperlihatkan bahwa negeri ini memiliki Krisis kemanusiaan yang akut.

Untuk itu, kami menuntut agar Pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan RUU Omnibus Law dan fokus menangani masalah krisis Covid-19 secara terstruktur dengan mengeluarkan kebijakan yang efektif dan tepat sasaran pada persoalan kesehatan. Perlindungan nyawa manusia harus diutamakan daripada kepentingan lainnya. Bahkan, seharusnya anggaran Rp. 466 Triliun untuk pemindahan Ibu Kota Negara dialihkan untuk penanganan Covid-19.

“Hingga kini per 1 April 2020 sudah 1.677 orang yang dinyatakan positif di Indonesia dan 157 orang meninggal akibat Covid-19,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Dr Hermawan Sambangi Ponpes Al-Husainy Bima 

BIMA-Keseriusan Dr Hermawan Saputra, SKM., MARS untuk maju menjadi anggota

SJR: Jangan Kaitkan Jokowi Dengan KLB Demokrat

JAKARTA-Ketua Umum Rembuk Nasional Aktifis 98, Sayed Junaidi Rizaldi (SJR)