Korupsi Anggaran Masif, Perlu Reposisi Hak Budget DPR

Friday 15 Jan 2016, 1 : 56 am
by
ilustrasi suap anggaran

JAKARTA-Direktur Eksekutif Respublica Political Institute (RPI), Benny Sabdo menegaskan perlunya mereposisi hak budget (anggaran) DPR sebagaimana diamanatkan Pasal 23 UUD 1945. Langkah ini dilakukan guna memitigasi dampak negative penggunaan wewenang mentransaksikan pengaruh DPR pada hal-hal bersifat mikroteknis.

Menurutnya, mereposisi fungsi budgeting DPR sangat penting mengingat korupsi anggaran masih massif terjadi di DPR.

Seperti diberitakan, KPK menangkap anggota Komisi V DPR Damayanti Wisnu Putranti dari Fraksi PDI Perjuangan terkait dugaan kasus korupsi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. “Saya meminta PDI Perjuangan untuk segera memecat kadernya yang terlibat korupsi. Tindakan tegas ini sebagai bentuk konsistensi sikap PDI Perjuangan terhadap  janji publiknya yang memecat kader yang terlibat korupsi dan narkoba. Kami juga memberi apresiasi atas KPK jilid IV di bawah kepemimpinan Agus Rahardjo,” ujar Benny Sabdo di kampus FHUI, Depok Kamis,  (14/1).

Selama ini, jelas Benny, DPR hanya berkutat pada perhitungan transaksi politis atau angka-angka anggaran dengan motivasi di luar kepentingan umum yang seharusnya dilindungi, sekaligus di luar rasionalitas dokumen perencanaan pembangunan yang ditetapkan sebelumnya.  “Kasus korupsi anggaran Damayanti Wisnu Putranti, Dewi Yasin Limpo, Andi Mallaranggeng, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, M. Nazaruddin, Wa Ode Nurhayati, Zukarnaen Djabar dkk, adalah bukti nyata perlunya mereposisi hak budget DPR agar demokrasi tidak dimaknai elite politik sebagai merampok APBN,” gugatnya.

Ia menjelaskan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-XI/2013 persetujuan DPR terhadap APBN dibatasi hanya sampai dengan unit organisasi, fungsi, dan program. “Putusan ini merupakan putusan logis guna mengakhiri dominasi rasionalitas politis dalam persetujuan RAPBN yang mengesampingkan rasionalitas teknokratis,” ungkap Benny usai mempertahankan tesisnya “Mereposisi Hak Budget DPR” di Program Pascasarjana FHUI.

Benny melihat, setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan persetujuan DPR terhadap APBN perlu dibatasi. Pertama, DPR memiliki hak budget sebagai hak yang mutlak dalam bentuk menerima atau menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Kedua, DPR memiliki fungsi pengawasan yang sebaiknya lebih diperkuat kualitasnya daripada memperluas tingkat persetujuan anggaran.

Benny menambahkan reposisi hak budget juga dapat menghindari makna hak budget sebagai bentuk aktif DPR dalam siklus anggaran negara. Padahal, secara konstitusional, jelas Benny, DPR tidak dimintakan pembahasan/persetujuan atas keseluruhan siklus anggaran, mulai dari perencanaan sampai pertanggungjawaban, tetapi dimulai saat Presiden mengajukan RAPBN kepada DPR, dan kemudian saat Presiden mengajukan pertanggungjawaban anggaran.

Ia merekomendasikan untuk memperbaiki sistem hukum nasional, khususnya berkaitan dengan hak budget DPR. Salah satu langkahnya dengan melakukan  penataan agar tujuan keuangan negara konsisten dengan tujuan bernegara. “Reposisi hak budget DPR perlu dilakukan dengan melakukan perubahan mendasar pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dengan memosisikan hak budget sebatas menerima dan menolak RAPBN yang diajukan pemerintah dengan dua alasan,” tandasnya. Pertama, RAPBN tidak sesuai dengan prioritas fungsi dan program yang telah direncanakan pemerintah dalam dokumen perencanaan. Kedua, RAPBN tidak memiliki alasan kemanfaatan (legitimasi) bagi kualitas penyelenggaraan pemerintahan secara umum dan pelayanan publik.

Benny mendesak pemerintah dan DPR perlu memiliki sistem pengawasan yang terencana dan tersistem dengan menggunakan parameter evaluasi yang jelas dan pasti. “DPR perlu menguatkan pengawasan terhadap pemerintah dalam penggunaan anggaran dengan menilai legitimasi atau kemanfaatan bagi kepentingan publik guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat Pasal 23 ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, perlu melakukan perubahaan secara fundamental pada UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD,” tandas Benny.

Ia menambahkan adanya sistem pengawasan secara seimbang yang dilakukan pemerintah dan DPR dalam APBN hakikatnya menjaga kepastian hukum dalam rangka menjaga kedudukan pemerintah dan DPR dalam hal keuangan negara.

Selain itu, menurut Benny, untuk mencegah pemerintah dan DPR secara bersama-sama atau pun sendiri-sendiri melakukan penyimpangan terhadap keuangan negara dalam APBN. “Pengecekan dan penyeimbangan dalam proses APBN antara pemerintah dan DPR merupakan syarat utama untuk mewujudkan tujuan bernegara dalam postur APBN,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Eksplorasi Panas Bumi Waesano Berdampak Positif Bagi Kesejahteraan

JAKARTA-Kelompok Diaspora Manggarai Raya, Nusa Tenggara Timur (NTT) mendukung rencana
BI

Survey BI: Penjualan Eceran Oktober 2015 Meningkat

JAKARTA-Survei Penjualan Eceran mengindikasikan bahwa secara tahunan penjualan eceran pada